STIKES FITHRAH ALDAR LUBUKLINGGAU NGEBLOG

Senin, 30 April 2012

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN HIPERTENSI di Stikes Fithrah Aldar Lubuklinggau Ngeblog

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN HIPERTENSI

A. KONSEP DASAR ANATOMI FISIOLOGI



  1. Latar Belakang
Dengan kemajuan teknologi, kematian yang disebabkan penyakit infeksi berkurang sedang penyakit system kardiovaskuler terus meningkat. Berkurang penyakit infeksi ini disebabkan beberapa faktor, yaitu:
  1. Perbaikan sosioekonomi masyarakat
  2. Pemberantasan kuman penyakit yang efektif
  3. Ditemukan obat-obat antibiotika yang baru
  4. Meningkatnya penyuluhan kesehatan
Pada saat ini di Negara maju penyakit system kardiovaskuler merupakan penyebab kematian yang paling utama. Penyakit kardiovaskuler  yang merupakan masalah di masyarakat adalah penyakit hipertensi. Bila penyakit hipertensi tidak diobati, tekanan darah semakin meningkat dengan bertambahnya umur penderita. Tekanan darah terus meningkat dapat menimbulkan komplikasi jantung, ginjal, dan otak.


1. Anatomi

a. Jantung

Berukuran sekitar satu kepalan tangan dan terletak didalam dada, batas kanannya terdapat pada sternum kanan dan apeksnya pada ruang intercostalis kelima kiri pada linea midclavicular.

 Hubungan jantung adalah:
  1.   Atas : pembuluh darah besar
  2.   Bawah : diafragma
  3.   Setiap sisi : paru
  4.   Belakang : aorta desendens, oesophagus, columna vertebralis

b. Arteri

Adalah tabung yang dilalui darah yang dialirkan pada jaringan dan organ. Arteri terdiri dari lapisan dalam: lapisan yang licin, lapisan tengah jaringan elastin/otot: aorta dan cabang-cabangnya besar memiliki laposan tengah yang terdiri dari jaringan elastin (untuk menghantarkan darah untuk organ), arteri yang lebih kecil memiliki lapisan tengah otot (mengatur jumlah darah yang disampaikan pada suatu organ).



Arteri merupakan struktur berdinding tebal yang mengangkut darah dari jantung ke jaringan. Aorta diameternya sekitar 25mm(1 inci) memiliki banyak sekali cabang yang pada gilirannya tebagi lagi menjadi pembuluh yang lebih kecil yaitu arteri dan arteriol, yang berukuran 4mm (0,16 inci) saat mereka mencapai jaringan. Arteriol mempunyai diameter yang lebih kecil kira-kira 30 µm.
Fungsi arteri menditribusikan darah teroksigenasi dari sisi kiri jantung ke jaringan. Arteri ini mempunyai dinding yang kuat dan tebal tetapi sifatnya elastic yang terdiri dari 3 lapisan yaitu :
  1. Tunika intima. Lapisan yang paling dalam sekali berhubungan dengan darah dan terdiri dari jaringan endotel.
  2. Tunika Media. Lapisan tengah yang terdiri dari jaringan otot yang sifatnya elastic dan termasuk otot polos
  3. Tunika Eksterna/adventisia. Lapisan yang paling luar sekali terdiri dari jaringan ikat gembur  yang berguna menguatkan dinding arteri. (Syaifuddin, 2006)


c. Arteriol

Adalah pembuluh darah dengan dinding otot polos yang relatif tebal. Otot dinding arteriol dapat berkontraksi. Kontraksi menyebabkan kontriksi diameter pembuluh darah. Bila kontriksi bersifat lokal, suplai darah pada jaringan/organ berkurang. Bila terdapat kontriksi umum, tekanan darah akan meningkat.

d. Pembuluh darah utama dan kapiler

Pembuluh darah utama adalah pembuluh berdinding tipis yang berjalan langsung dari arteriol ke venul. Kapiler adalah jaringan pembuluh darah kecil yang membuka pembuluh darah utama.
Kapiler merupakan pembuluh darah yang sangat halus. Dindingnya terdiri dari suatu lapisan endotel. Diameternya kira-kira 0,008 mm. Fungsinya mengambil hasil-hasil dari kelenjar, menyaring darah yang terdapat di ginjal, menyerap zat makanan yang terdapat di usus, alat penghubung antara pembuluh darah arteri dan vena.



e. Sinusoid

Terdapat limpa, hepar, sumsum tulang dan kelenjar endokrin. Sinusoid tiga sampai empat kali lebih besar dari pada kapiler dan sebagian dilapisi dengan sel sistem retikulo-endotelial. Pada tempat adanya sinusoid, darah mengalami kontak langsung dengan sel-sel dan pertukaran tidak terjadi melalui ruang jaringan.


Saluran Limfe mengumpulkan, menyaring dan menyalurkan kembali cairan limfe ke dalam darah yang ke luar melalui dinding kapiler halus untuk membersihkan jaringan. Pembuluh limfe sebagai jaringan halus yang terdapat di dalam berbagai organ, terutama dalam vili usus.

f. Vena dan venul

Venul adalah vena kecil yang dibentuk gabungan kapiler. Vena dibentuk oleh gabungan venul. Vena memiliki tiga dinding yang tidak berbatasan secara sempurna satu sama lain.
(Gibson, John. Edisi 2 tahun 2002, hal 110)

Vena merupakan pembuluh darah yang membawa darah dari bagian atau alat-alat tubuh masuk ke dalam jantung. Vena yang ukurannya besar seperti vena kava dan vena pulmonalis. Vena ini juga mempunyai cabang yang lebih kecil disebut venolus yang selanjutnya menjadi kapiler. Fungsi vena membawa darah kotor kecuali vena pulmonalis,  mempunyai  dinding tipis, mempunyai katup-katup sepanjang jalan yang mengarah ke jantung.


 


PENGERTIAN

Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan diastolik di atas 90 mmHg. Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg. (Smeltzer,2001)

Menurut WHO ( 1978 ), tekanan darah sama dengan atau diatas 160 / 95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi.


Hipertensi adalah peningkatan abnormal pada tekanan sistolik 140 mmHg atau lebih dan tekanan diastolik 120 mmHg (Sharon, L.Rogen, 1996).

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg (Luckman Sorensen,1996).


KLASIFIKASI

Hipertensi pada usia lanjut dibedakan atas : ( Darmojo, 1999 )
Hipertensi dimana tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan / atau tekanan diastolik sama atau lebih besar dari 90 mmHg. Hipertensi sistolik terisolasi dimana tekanan sistolik lebih besar dari 160 mmHg dan tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg.

Klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi 2 golongan besar yaitu :
Hipertensi essensial ( hipertensi primer ) yaitu hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya
Hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang di sebabkan oleh penyakit lain


ETIOLOGI

Etiologi
 
Pada umumnya hipertensi tidak mempunyai penyebab yang spesifik (idiopatik). Hipertensi terjadi sebagai respon peningkatan cardiac output atau peningkatan tekanan perifer.  Namun ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi:
  1. Genetik: Respon neurologi terhadap stress atau kelainan eksresi atau transport  Na.
  2. Obesitas: terkait dengan level insulin yang tinggi yang mengakibatkan tekanan darah meningkat.
  3. Stress Lingkungan.
  4. Hilangnya Elastisitas jaringan dan arterosklerosis pada orang tua serta pelebaran pembuluh darah.
Berdasarkan etiologinya Hipertensi dibagi menjadi 2 golongan yaitu:
  1. Hipertensi Esensial (Primer)
Penyebab tidak diketahui namun banyak factor yang mempengaruhi seperti genetika, lingkungan, hiperaktivitas, susunan saraf simpatik, system rennin angiotensin, efek dari eksresi Na, obesitas, merokok dan stress.
  1. Hipertensi Sekunder
Dapat diakibatkan karena penyakit parenkim renal/vaskuler renal.
Penggunaan kontrasepsi oral yaitu pil. Gangguan endokrin dll.


Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya perubahan – perubahan pada :
  1. Elastisitas dinding aorta menurun
  2. Katub jantung menebal dan menjadi kaku
  3. Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun kemampuan jantung memompa darah menurun menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.
  4. Kehilangan elastisitas pembuluh darah
Hal ini terjadi karenakurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi
Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer

Meskipun hipertensi primer belum diketahui dengan pasti penyebabnya, data-data penelitian telah menemukan beberapa faktor yang sering menyebabkan terjadinya hipertensi. Faktor tersebut adalah sebagai berikut :
Faktor keturunan
Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi

Ciri perseorangan

  1. Ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi adalah:
  2. Umur ( jika umur bertambah maka TD meningkat )
  3. Jenis kelamin ( laki-laki lebih tinggi dari perempuan )
  4. Ras ( ras kulit hitam lebih banyak dari kulit putih )
  5. Kebiasaan hidup
  6. Kebiasaan hidup yang sering menyebabkan timbulnya hipertensi adalah :
  7. Konsumsi garam yang tinggi ( melebihi dari 30 gr )
  8. Kegemukan atau makan berlebihan
  9. Stress
  10. Merokok
  11. Minum alcohol
  12. Minum obat-obatan ( ephedrine, prednison, epineprin )
Sedangkan penyebab hipertensi sekunder adalah :
  1. Ginjal
  2. Glomerulonefritis
  3. Pielonefritis
  4. Nekrosis tubular akut
  5. Tumor
  6. Vascular
  7. Aterosklerosis
  8. Hiperplasia
  9. Trombosis
  10. Aneurisma
  11. Emboli kolestrol
  12. Vaskulitis
  13. Kelainan endokrin
  14. DM
  15. Hipertiroidisme
  16. Hipotiroidisme
  17. Saraf
  18. Stroke
  19. Ensepalitis
  20. SGB
  21. Obat – obatan
  22. Kontrasepsi oral
  23. Kortikosteroid 

PATOFISIOLOGI / PATHWAY

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitiv terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.

Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung mencetuskan keadaan hipertensi.

Sebagai pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubahan structural dan fungsional pada system pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup) mengakibatkan penurunan curang jantung dan peningkatan tahanan perifer (Smeltzer, 2001).

Pada usia lanjut perlu diperhatikan kemungkinan adanya “hipertensi palsu” disebabkan kekakuan arteri brachialis sehingga tidak dikompresi oleh cuff sphygmomanometer (Darmojo, 1999).

Patofisiologi hipertensi

Daftar
hipertensi
pneumonia
diabetes melitus
stroke
gagal jantung
diare
nyeri
anemia
asma
prematur
katarak
kangker payudara
kangker
kangker serviks
kangker ovarium
katarak senilis
kangker kolon
kardiovaskuler
kangker hati
kangker paru
bblr
bph
batu ginjal
bronchopneumonia
batuk
bronkritis
bayi prematur
batu ureter
bronchitis
batu saluran kemih
asma
anemia
apendisitis
aterosklerosis
asam urat
asam bronkial
angina pektoris
aritmia
aids
diare
diare pada anak
diare akut pada anak
diare akut
diare kronis
diare skretorik
 diarepada anak
diare pada bayi
diare pada anak
ca nasofaring
chf
cidera kepala
ckd, campak
capd
combustio
cidera kepala ringan
ca kolon
ca mamae
Tabel (1.1)patofisiologi


Menurunnya tonus vaskuler merangsang saraf simpatis yang diteruskan ke sel jugularis. Dari sel jugularis ini bisa meningkatkan tekanan darah. Dan apabila diteruskan pada ginjal, maka akan mempengaruhi eksresi pada rennin yang berkaitan dengan Angiotensinogen. Dengan adanya perubahan pada angiotensinogen II berakibat pada terjadinya vasokontriksi pada pembuluh darah, sehingga terjadi kenaikan tekanan darah.Selain itu juga dapat meningkatkan hormone aldosteron yang menyebabkan retensi natrium. Hal tersebut akan berakibat pada peningkatan tekanan darah. Dengan peningkatan tekanan darah maka akan menimbulkan kerusakan pada organ-organ seperti jantung. ( Suyono, Slamet. 1996 )


TANDA DAN GEJALA

Tanda dan gejala pada hipertensi dibedakan menjadi :
Tidak ada gejala
Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh dokter yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial tidak akan pernah terdiagnosa jika tekanan arteri tidak terukur.

Gejala yang lazim

Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai hipertensi meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataannya ini merupakan gejala terlazim yang mengenai kebanyakan pasien yang mencari pertolongan medis.

Menurut Rokhaeni ( 2001 ), manifestasi klinis beberapa pasien yang menderita hipertensi yaitu : Mengeluh sakit kepala, pusing Lemas, kelelahan, Sesak nafas, Gelisah, Mual Muntah, Epistaksis, Kesadaran menurun.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1.  Hemoglobin / hematokrit
     Untuk mengkaji hubungan dari sel – sel terhadap volume cairan ( viskositas ) dan dapat
     mengindikasikan  factor – factor resiko seperti hiperkoagulabilitas, anemia.
2.  BUN : memberikan informasi tentang perfusi ginjal
3.  Glukosa
     Hiperglikemi ( diabetes mellitus adalah pencetus hipertensi ) dapat diakibatkan oleh peningkatan
     katekolamin ( meningkatkan hipertensi )
4.  Kalium serum
     Hipokalemia dapat megindikasikan adanya aldosteron utama ( penyebab ) atau menjadi efek samping
     terapi diuretik.
5.  Kalsium serum
     Peningkatan kadar kalsium serum dapat menyebabkan hipertensi
6.  Kolesterol dan trigliserid serum
     Peningkatan kadar dapat mengindikasikan pencetus untuk / adanya pembentukan plak ateromatosa (
     efek kardiovaskuler )
7.  Pemeriksaan tiroid
     Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokonstriksi dan hipertensi
8.  Kadar aldosteron urin/serum
     Untuk mengkaji aldosteronisme primer ( penyebab )
9.  Urinalisa
     Darah, protein, glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal dan atau adanya diabetes.
10. Asam urat
     Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko hipertensi
11. Steroid urin
     Kenaikan dapat mengindikasikan hiperadrenalisme
12. IVP
     Dapat mengidentifikasi penyebab hieprtensiseperti penyakit parenkim ginjal, batu ginjal / ureter
13. Foto dada
      Menunjukkan obstruksi kalsifikasi pada area katub, perbesaran jantung
14. CT scan
      Untuk mengkaji tumor serebral, ensefalopati
15. EKG
      Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola regangan, gangguan konduksi, peninggian gelombang P
      adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi


PENATALAKSANAAN

Pengelolaan hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat komplikasi kardiovaskuler yang berhubungan dengan pencapaian dan pemeliharaan tekanan darah dibawah 140/90 mmHg.

Prinsip pengelolaan penyakit hipertensi meliputi :
Terapi tanpa Obat

Terapi tanpa obat digunakan sebagai tindakan untuk hipertensi ringan dan sebagai tindakan suportif pada hipertensi sedang dan berat. Terapi tanpa obat ini meliputi :
  1. Diet
  2. Diet yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah :
  3. Restriksi garam secara moderat dari 10 gr/hr menjadi 5 gr/hr
  4. Diet rendah kolesterol dan rendah asam lemak jenuh
  5. Penurunan berat badan
  6. Penurunan asupan etanol
  7. Menghentikan merokok
  8. Latihan Fisik

Latihan fisik atau olah raga yang teratur dan terarah yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah olah raga yang mempunyai empat prinsip yaitu :

Macam olah raga yaitu isotonis dan dinamis seperti lari, jogging, bersepeda, berenang dan lain-lain
Intensitas olah raga yang baik antara 60-80 % dari kapasitas aerobik atau 72-87 % dari denyut nadi maksimal yang disebut zona latihan. Lamanya latihan berkisar antara 20 – 25 menit berada dalam zona latihan Frekuensi latihan sebaiknya 3 x perminggu dan paling baik 5 x perminggu
Edukasi Psikologis
Pemberian edukasi psikologis untuk penderita hipertensi meliputi :

1. Tehnik Biofeedback

Biofeedback adalah suatu tehnik yang dipakai untuk menunjukkan pada subyek tanda-tanda mengenai keadaan tubuh yang secara sadar oleh subyek dianggap tidak normal.
Penerapan biofeedback terutama dipakai untuk mengatasi gangguan somatik seperti nyeri kepala dan migrain, juga untuk gangguan psikologis seperti kecemasan dan ketegangan.

2. Tehnik relaksasi
Relaksasi adalah suatu prosedur atau tehnik yang bertujuan untuk mengurangi ketegangan atau kecemasan, dengan cara melatih penderita untuk dapat belajar membuat otot-otot dalam tubuh menjadi rileks
Pendidikan Kesehatan ( Penyuluhan )

Tujuan pendidikan kesehatan yaitu untuk meningkatkan pengetahuan pasien tentang penyakit hipertensi dan pengelolaannya sehingga pasien dapat mempertahankan hidupnya dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
Terapi dengan Obat

Tujuan pengobatan hipertensi tidak hanya menurunkan tekanan darah saja tetapi juga mengurangi dan mencegah komplikasi akibat hipertensi agar penderita dapat bertambah kuat. Pengobatan hipertensi umumnya perlu dilakukan seumur hidup penderita.

Pengobatan standar yang dianjurkan oleh Komite Dokter Ahli Hipertensi ( JOINT NATIONAL COMMITTEE ON DETECTION, EVALUATION AND TREATMENT OF HIGH BLOOD PRESSURE, USA, 1988 ) menyimpulkan bahwa obat diuretika, penyekat beta, antagonis kalsium, atau penghambat ACE dapat digunakan sebagai obat tunggal pertama dengan memperhatikan keadaan penderita dan penyakit lain yang ada pada penderita.

Pengobatannya meliputi :
Step 1
Obat pilihan pertama : diuretika, beta blocker, Ca antagonis, ACE inhibitor
Step 2
Alternatif yang bisa diberikan :
Dosis obat pertama dinaikkan
Diganti jenis lain dari obat pilihan pertama
Ditambah obat ke –2 jenis lain, dapat berupa diuretika , beta blocker, Ca antagonis, Alpa
blocker, clonidin, reserphin, vasodilator
Step 3 : Alternatif yang bisa ditempuh
Obat ke-2 diganti
Ditambah obat ke-3 jenis lain
Step 4 : Alternatif pemberian obatnya
Ditambah obat ke-3 dan ke-4
Re-evaluasi dan konsultasi

Follow Up untuk mempertahankan terapi

Untuk mempertahankan terapi jangka panjang memerlukan interaksi dan komunikasi yang baik antara pasien dan petugas kesehatan ( perawat, dokter ) dengan cara pemberian pendidikan kesehatan.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam interaksi pasien dengan petugas kesehatan adalah sebagai berikut :
  1. Setiap kali penderita periksa, penderita diberitahu hasil pengukuran tekanan darahnya
  2. Bicarakan dengan penderita tujuan yang hendak dicapai mengenai tekanan darahnya
  3. Diskusikan dengan penderita bahwa hipertensi tidak dapat sembuh, namun bisa dikendalikan untuk dapat menurunkan morbiditas dan mortilitas
  4. Yakinkan penderita bahwa penderita tidak dapat mengatakan tingginya tekanan darah atas dasar apa yang dirasakannya, tekanan darah hanya dapat diketahui dengan mengukur memakai alat tensimeter
    Penderita tidak boleh menghentikan obat tanpa didiskusikan lebih dahulu
    Sedapat mungkin tindakan terapi dimasukkan dalam cara hidup penderita
    Ikutsertakan keluarga penderita dalam proses terapi
  5. Pada penderita tertentu mungkin menguntungkan bila penderita atau keluarga dapat mengukur tekanan darahnya di rumah
  6. Buatlah sesederhana mungkin pemakaian obat anti hipertensi misal 1 x sehari atau 2 x sehari
  7. Diskusikan dengan penderita tentang obat-obat anti hipertensi, efek samping dan masalah-masalah yang mungkin terjadi
  8. Yakinkan penderita kemungkinan perlunya memodifikasi dosis atau mengganti obat untuk mencapai efek samping minimal dan efektifitas maksimal
  9. Usahakan biaya terapi seminimal mungkin
  10. Untuk penderita yang kurang patuh, usahakan kunjungan lebih sering
  11. Hubungi segera penderita, bila tidak datang pada waktu yang ditentukan.
  12. Melihat pentingnya kepatuhan pasien dalam pengobatan maka sangat diperlukan sekali pengetahuan dan sikap pasien tentang pemahaman dan pelaksanaan pengobatan hipertensi.



Manifestasi klinis pada klien dengan hipertensi adalah :


1. Peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg 2.
2. Sakit kepala
3.  Pusing / migrain
4.  Rasa berat ditengkuk
5.  Penyempitan pembuluh darah
6.  Sukar tidur
7.  Lemah dan lelah
8.  Nokturia
9.  Azotemia
10. Sulit bernafas saat beraktivitas

PENGKAJIAN

 Aktivitas / istirahat

Gejala :
  1. Kelemahan
  2. Letih
  3. Napas pendek
  4. Gaya hidup monoton

Tanda :
  1. Frekuensi jantung meningkat
  2. Perubahan irama jantung
  3. Takipnea
  4. Sirkulasi
Gejala : Riwayat hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung koroner / katup, penyakit serebrovaskuler
Tanda :
  1. Kenaikan TD
  2. Nadi : denyutan jelas
  3. Frekuensi / irama : takikardia, berbagai disritmia
  4. Bunyi jantung : murmur
  5. Distensi vena jugularis
  6. Ekstermitas
  7. Perubahan warna kulit, suhu dingin( vasokontriksi perifer ), pengisian kapiler mungkin lambatIntegritas Ego
  8. Gejala : Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi, euphoria, marah, faktor stress multiple ( hubungsn, keuangan, pekerjaan )
Tanda :
  1. Letupan suasana hati
  2. Gelisah
    Penyempitan kontinue perhatian
    Tangisan yang meledak
    otot muka tegang ( khususnya sekitar mata )
    Peningkatan pola bicara
  3. Eliminasi
Gejala : Gangguan ginjal saat ini atau yang lalu ( infeksi, obstruksi, riwayat penyakit ginjal )
             Makanan / Cairan
Gejala :
  1. Makanan yang disukai yang dapat mencakup makanan tinggi garam, lemak dan kolesterol
  2. Mual
  3. Muntah
  4. Riwayat penggunaan diuretic
  5. Tanda :
  6. BB normal atau obesitas
  7. Edema
  8. Kongesti vena
  9. Peningkatan JVP
  10. glikosuria
  11. Neurosensori
Gejala :
  1. Keluhan pusing / pening, sakit kepala
  2. Episode kebas
  3. Kelemahan pada satu sisi tubuh
  4. Gangguan penglihatan ( penglihatan kabur, diplopia )
  5. Episode epistaksis
Tanda :
  1. Perubahan orientasi, pola nafas, isi bicara, afek, proses pikir atau memori ( ingatan )
  2. Respon motorik : penurunan kekuatan genggaman
  3. Perubahan retinal optic
  4. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala :
  1. nyeri hilang timbul pada tungkai sakit kepala oksipital berat nyeri abdomen
  2. Pernapasan
Gejala :
  1. Dispnea yang berkaitan dengan aktivitas
  2. Takipnea
  3. Ortopnea
  4. Dispnea nocturnal proksimal
  5. Batuk dengan atau tanpa sputum
  6. Riwayat merokok

Tanda :
  1. Distress respirasi/ penggunaan otot aksesoris pernapasan
  2. Bunyi napas tambahan ( krekles, mengi )
  3. SianosisKeamanan
Gejala : Gangguan koordinasi, cara jalan
  1. Tanda : Episode parestesia unilateral transienPembelajaran / Penyuluhan
Gejala :
  1. Factor resiko keluarga ; hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung, DM , penyakit serebrovaskuler, ginjal
  2. Faktor resiko etnik, penggunaan pil KB atau hormon lain
  3. Penggunaan obat / alcohol

Pemeriksaan Penunjang

a.  Pemeriksaan Laborat

1)  Hb/Ht : untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume
     cairan (viskositas) dan dapat mengindikasikan faktor resiko, seperti : hipokoagulabilitas, anemia.
2)  BUN / kreatinin : memberikan informasi tentang perfusi / fungsi ginjal.
3)  Glukosa : Hiperglikemi (DM adalah pencetus hipertensi) dapat diakibatkan oleh pengeluaran kadar 
     ketokolamin.
4)  Urinalisa : darah, protein, glukosa, mengisaratkan disfungsi ginjal dan adanya DM.

b.  CT Scan : Mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati
c.  EKG : Dapat menunjukan pola regangan, dimana luas, peninggian
     gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.
d.  IVP : Mengidentifikasikan penyebab hipertensi seperti : Batu ginjal, perbaikan ginjal.
e.  Photo dada : Menunjukan destruksi klasifikasi pada area katup, pembesaran jantung.

Penatalaksanaan

a.  Penatalaksanaan Non Farmakologi

1)  Diet pembatasan atau pengurangan konsumsi garam. Penurunan BB dapat menurunkan tekanan darah dibarengi dengan penurunan aktivitas rennin dalam plasma dan kadar aldosteron dalam plasma.

2)  Aktivitas
Klien disarankan untuk berpartisipasi pada kegiatan dan disesuaikan denganbatasan medis dan sesuai dengan kemampuan seperti berjalan, jogging, bersepeda atau berenang.

b.  Penatalaksanaan Farmakologis
Secara garis  besar  terdapat  beberapa  hal  yang  perlu  diperhatikan  dalam pemberian atau pemilihan obat anti hipertensi yaitu:

1)   Mempunyai efektivitas yang tinggi.
2)   Mempunyai toksitas dan efek samping yang ringan atau minimal.
3)   Memungkinkan penggunaan obat secara oral.
4)   Tidak menimbulkan intoleransi.
5)   Harga obat relatif murah sehingga terjangkau oleh klien.
6)   Memungkinkan penggunaan jangka panjang.
Golongan obat – obatan yang diberikan pada klien dengan hipertensi, seperti golongan diuretik misalnya lasik, golongan betabloker, Inhibitor simpatis ( Propanolol,metroprolol ), Anti Adrenergik (minipres,hytrin).


DIAGNOSA KEPERAWATAN
Penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan afterload, vasokonstriksi, iskemia miokard, hipertropi ventricular

Tujuan :
Tidak terjadi penurunan curah jantung setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam.

Kriteria hasil :

Berpartisipasi dalam aktivitas yang menurunkan TD
Mempertahankan TD dalam rentang yang dapat diterima
Memperlihatkan irama dan frekuensi jantung stabil

Intervensi :

  • Pantau TD, ukur pada kedua tangan, gunakan manset dan tehnik yang tepat
    Catat keberadaan, kualitas denyutan sentral dan perifer
    Auskultasi tonus jantung dan bunyi napas
    Amati warna kulit, kelembaban, suhu dan masa pengisian kapiler
    Catat edema umum
    Berikan lingkungan tenang, nyaman, kurangi aktivitas, batasi jumlah pengunjung.
    Pertahankan pembatasan aktivitas seperti istirahat ditempat tidur/kursi
    Bantu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai kebutuhan
    Lakukan tindakan yang nyaman spt pijatan punggung dan leher, meninggikan kepala tempat tidur.
    Anjurkan tehnik relaksasi, panduan imajinasi, aktivitas pengalihan
    Pantau respon terhadap obat untuk mengontrol tekanan darah
    Berikan pembatasan cairan dan diit natrium sesuai indikasi
    Kolaborasi untuk pemberian obat-obatan sesuai indikasi
  • Diuretik Tiazid misalnya klorotiazid ( Diuril ), hidroklorotiazid ( esidrix, hidrodiuril ),
  • bendroflumentiazid ( Naturetin )
  • Diuretic Loop misalnya Furosemid ( Lasix ), asam etakrinic ( Edecrin ), Bumetanic ( Burmex )Diuretik hemat kalium misalnay spironolakton ( aldactone ), triamterene ( Dyrenium ), amilioride ( midamor ) Inhibitor simpatis misalnya propanolol ( inderal ), metoprolol ( lopressor ), Atenolol ( tenormin ), nadolol ( Corgard ), metildopa ( aldomet ), reserpine ( Serpasil ), klonidin ( catapres )Vasodilator misalnya minoksidil ( loniten ), hidralasin ( apresolin ), bloker saluran kalsium ( nivedipin, verapamil )Anti adrenergik misalnya minipres, tetazosin ( hytrin ), Bloker nuron adrenergik misalnya guanadrel ( hyloree ), quanetidin ( Ismelin ), reserpin ( Serpasil ), Inhibitor adrenergik yang bekerja secara sentral misalnya klonidin ( catapres ), guanabenz ( wytension ), metildopa ( aldomet ,)Vasodilator kerja langsung misalnya hidralazin ( apresolin ), minoksidil, loniten, Vasodilator oral yang bekerja secara langsung misalnya diazoksid ( hyperstat ), nitroprusid ( nipride, nitropess ), Bloker ganglion misalnya guanetidin ( ismelin ), trimetapan ( arfonad ), ACE inhibitor ( captopril, captoten )
Nyeri ( sakit kepala ) berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler serebral

Tujuan :
Nyeri atau sakit kepala hilang atau berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam

Kriteria hasil :
  1. Pasien mengungkapkan tidak adanya sakit kepala
  2. Pasien tampak nyaman
  3. TTV dalam batas normal

Intervensi :
  1. Pertahankan tirah baring, lingkungan yang tenang, sedikit penerangan
  2. Minimalkan gangguan lingkungan dan rangsangan
  3. Bantu pasien dalam ambulasi sesuai kebutuhan
  4. Hindari merokok atau menggunkan penggunaan nikotin
  5. Beri tindakan nonfarmakologi untuk menghilangkan sakit kepala seperti kompres dingin pada dahi, pijat punggung dan leher, posisi nyaman, tehnik relaksasi, bimbingan imajinasi dan distraksi
  6. Hilangkan / minimalkan vasokonstriksi yang dapat meningkatkan sakit kepala misalnya mengejan saat BAB, batuk panjang, membungkuk
  7. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi : analgesik, antiansietas (lorazepam, ativan, diazepam, valium )Resiko perubahan perfusi jaringan: serebral, ginjal, jantung berhubungan dengan adanya tahanan pembuluh darah
Tujuan :
Tidak terjadi perubahan perfusi jaringan : serebral, ginjal, jantung setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam

Kriteria hasil :
Pasien mendemonstrasikan perfusi jaringan yang membaik seperti ditunjukkan dengan : TD dalam batas yang dapat diterima, tidak ada keluhan sakit kepala, pusing, nilai-nilai laboratorium dalam batas normal.
Haluaran urin 30 ml/ menit
Tanda-tanda vital stabil

Intervensi :
  1. Pertahankan tirah baring
  2. Tinggikan kepala tempat tidur
  3. Kaji tekanan darah saat masuk pada kedua lengan; tidur, duduk dengan pemantau tekanan arteri jika tersedia
  4. Ambulasi sesuai kemampuan; hindari kelelahan
  5. Amati adanya hipotensi mendadak
  6. Ukur masukan dan pengeluaran
  7. Pertahankan cairan dan obat-obatan sesuai program
  8. Pantau elektrolit, BUN, kreatinin sesuai programIntoleransi aktifitas berhubungan penurunan cardiac output
Tujuan :
Tidak terjadi intoleransi aktifitas setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam

Kriteria hasil :
  1. Meningkatkan energi untuk melakukan aktifitas sehari – hari
  2. Menunjukkan penurunan gejala – gejala intoleransi aktifitas

Intervensi :
  1. Berikan dorongan untuk aktifitas / perawatan diri bertahap jika dapat ditoleransi.
  2. Berikan bantuan sesuai kebutuhan
  3. Instruksikan pasien tentang penghematan energy
  4. Kaji respon pasien terhadap aktifitas
  5. Monitor adanya diaforesis, pusing
  6. Observasi TTV tiap 4 jam
  7. Berikan jarak waktu pengobatan dan prosedur untuk memungkinkan waktu istirahat yang tidak terganggu, berikan waktu istirahat sepanjang siang atau soreGangguan pola tidur berhubungan adanya nyeri kepala
Tujuan :
Tidak terjadi gangguan pola tidur setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam

Kriteria hasil :
  1. Mampu menciptakan pola tidur yang adekuat 6 – 8 jam per hari
  2. Tampak dapat istirahat dengan cukup
  3. TTV dalam batas normal

Intervensi :
  1. Ciptakan suasana lingkungan yang tenang dan nyaman
  2. Beri kesempatan klien untuk istirahat / tidur
  3. Evaluasi tingkat stress
  4. Monitor keluhan nyeri kepala
  5. Lengkapi jadwal tidur secara teratur
  6. Berikan makanan kecil sore hari dan / susu hangat
  7. Lakukan masase punggung
  8. Putarkan musik yang lembut
  9. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasiKurangnya perawatan diri berhubungan dengan adanya kelemahan fisik.
Tujuan :
Perawatan diri klien terpenuhi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam

Kriteria hasil :
  1. Mampu melakukan aktifitas perawatan diri sesuai kemampuan
  2. Dapat mendemonstrasikan tehnik untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri

Intervensi :
  1. Kaji kemampuan klien untuk melakukan kebutuhan perawatan diri
  2. Beri pasien waktu untuk mengerjakan tugas
  3. Bantu pasien untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri
  4. Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukan klien / atas keberhasilannya
  5. Kecemasan berhubungan dengan krisis situasional sekunder adanya hipertensi yang diderita klien
Tujuan:
Kecemasan hilang atau berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24
Jam

Kriteria hasil :
  1. Klien mengatakan sudah tidak cemas lagi / cemas berkurang
  2. Ekspresi wajah rilek
  3. TTV dalam batas normal

Intervensi :
  1. Kaji keefektifan strategi koping dengan mengobservasi perilaku misalnya kemampuan menyatakan perasaan dan perhatian, keinginan berpartisipasi dalam rencana pengobatan
  2. Catat laporan gangguan tidur, peningkatan keletihan, kerusakan konsentrasi, peka rangsang, penurunan toleransi sakit kepala, ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah
  3. Bantu klien untuk mengidentifikasi stressor spesifik dan kemungkinan strategi untuk mengatasinya
  4. Libatkan pasien dalam perencanaan perawatan dan beri dorongan partisipasi maksimum dalam rencana pengobatan
  5. Dorong pasien untuk mengevaluasi prioritas atau tujuan hidup
  6. Kaji tingkat kecemasan klien baik secara verbal maupun non verbal
  7. Observasi TTV tiap 4 jam
  8. Dengarkan dan beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaanya
  9. Berikan support mental pada klien
  10. Anjurkan pada keluarga untuk memberikan dukungan pada klien


Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit

Tujuan :
Klien terpenuhi dalam informasi tentang hipertensi setelah dilakukan tindakan ekperawatan selama 1 x 24 jam

Kriteria hasil:
  1. Pasien mengungkapkan pengetahuan akan hipertensi
  2. Melaporkan pemakaian obat-obatan sesuai program

Intervensi :
  1. Jelaskan sifat penyakit dan tujuan dari pengobatan dan prosedur
  2. Jelaskan pentingnya lingkungan yang tenang, tidak penuh dengan stress
  3. Diskusikan tentang obat-obatan : nama, dosis, waktu pemberian, tujuan dan efek samping atau efek toksik
  4. Jelaskan perlunya menghindari pemakaian obat bebas tanpa pemeriksaan dokter
  5. Diskusikan gejala kambuhan atau kemajuan penyulit untuk dilaporkan dokter : sakit kepala, pusing, pingsan, mual dan muntah.
  6. Diskusikan pentingnya mempertahankan berat badan stabil
  7. Diskusikan pentingnya menghindari kelelahan dan mengangkat berat
  8. Diskusikan perlunya diet rendah kalori, rendah natrium sesuai program
  9. Jelaskan penetingnya mempertahankan pemasukan cairan yang tepat, jumlah yang diperbolehkan, pembatasan seperti kopi yang mengandung kafein, teh serta alcohol
  10. Jelaskan perlunya menghindari konstipasi dan penahanan
  11. Berikan support mental, konseling dan penyuluhan pada keluarga klien

a.    Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan afterload, vasokonstriksi, iskemia miokard, hipertropi ventricular.

b.    Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan O2.

c.    Gangguan rasa nyaman : nyeri ( sakit kepala ) berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler serebral. (Doenges,1999)

  1. Gangguan nutrisi berhubungan dengan masukan berlebihan sehubung dengan kebutuhan metabolic.
  1. Kurang Pengetahuan (kebutuhan belajar),mengenai kondisi,rencana pengobatan berhubungan dengan kurangnya pengetahuan/daya ingat.

3.    Intervensi


Diagnosa Keperawatan

Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan afterload, vasokonstriksi, iskemia miokard, hipertropi ventricular.

Tujuan : Afterload tidak meningkat, tidak terjadi vasokonstriksi, tidak terjadi iskemia miokard.
Kriteria Hasil : Klien berpartisipasi dalam aktivitas yang menurunkan tekanan darah / bebankerja jantung , mempertahankan TD dalam rentang individu yang dapatditerima, memperlihatkan norma dan frekwensi jantung stabil dalam rentangnormal pasien.
Intervensi :

a.    Pantau TD, ukur pada kedua tangan, gunakan manset dan tehnik yang tepat.

Rasional : Untuk mengetahui keadaan umum

b.    Catat keberadaan, kualitas denyutan sentral dan perifer.

Rasional : Untuk mengetahui denyut karotis,jugularis,radialis dan femoralis mungkin terpalpasi

c.    Auskultasi bunyi jantung dan bunyi napas.

Rasional : Untuk mengetahui bunyi jantung S4(adanya hypertrofi atrium)dan S3 (Hypertrofi ventrikel dan kerusakan fungsi),adanya krakles

d.    Amati warna kulit, kelembaban, suhu dan masa pengisian kapiler

Rasional : Adanya pucat,dingin,kulit lembab dan masa pengisian kapiler lambat mungkin berkaitan dengan vasokontriksi

e.    Catat edema umum.

Rasional : Mengindikasi gagal jantung,kerusakan ginjal atau vaskuler

f.     Berikan lingkungan tenang, nyaman, kurangi aktivitas.

Rasional : Membantu untuk menurunkan rangsang simpatis: Meningkatkan relaksasi

g.    Pertahankan pembatasan aktivitas seperti istirahat ditempat tidur/kursi

Rasional :  Menurunkan stress dan ketegangan yang mempengaruhi TD dan perjalan penyakit hypertensi

h.    Lakukan tindakan yang nyaman seperti pijatan punggung dan leher

Rasional : Mengurangi ketidaknyaman dan dapat menurunkan rangsangan simpatis

i.      Pantau respon terhadap obat untuk mengontrol tekanan darah

Rasional : Untuk mengetahui respon terhadap reaksi obat

j.      Berikan pembatasan cairan dan diit natrium sesuai indikasi

Rasional : Menangani retensi cairan dengan respon hypertensi dengan demikian dapat menurunkan beban kerja jantung

Diagnosa Keperawatan 


Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan O2.

Tujuan : klien dapat melakukan aktivitas
Kriteria Hasil :Klien dapat berpartisipasi dalam aktivitas yang di inginkan / diperlukan,melaporkan peningkatan dalam toleransi aktivitas.
Intervensi :
  1. Kaji respon pasien terhadap aktivitas
Rasional : Mengkaji respon fisiologi terhadap stress aktivitas dan indicator dari kelebihan kerja yang berkaitan dengan tingkat aktivitas
  1. Instruksikan pasien tentang teknik penghematan energy, misalnya: menggunakan kursi saat mandi, duduk saat menyisir rambut
Rasional : Menghemat energy,mengurangi penggunaan energy juga membantu keseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
  1. Dorong memajukan aktivitas / toleransi perawatan diri.
Rasional : Kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatan kerja jantung tiba-tiba.

Diagnosa Keperawatan

Gangguan rasa nyaman : nyeri ( sakit kepala ) berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler serebral
Tujuan : Tekanan vaskuler serebral tidak meningkat.
Kriteria Hasil :P asien mengungkapkan tidak adanya sakit kepala dan tampak nyaman.
Intervensi :
  1. Pertahankan tirah baring, lingkungan yang tenang, sedikit penerangan
Rasional : Meningkatkan relaksasi
  1. Batasi aktivitas.
Rasional : Aktivitas yang meningkatkan vasokonstriksi menyebabkan sakit kepala karena adanya peningkatan tekanan vaskuler serebral
  1. c.    Beri obat analgesic dan antiansietas(Diazepam) sesuai indikasi
Rasional : Menurunkan nyeri dan menurunkan rangsang system saraf simpatik dan dapat mengurangi ketegangan serta ketidaknyamanan yang diperberat oleh stress.

Diagnosa Keperawatan 

Gangguan nutrisi berhubungan dengan masukan berlebihan sehubung dengan kebutuhan metabolik

Tujuan : Mengidentifikasi hubungan antara hipertensi dengan kegemukan
Kriteria Hasil :Menunjukkan perubahan pola makan dan mempertahankan berat badan yang diinginkan dengan pemeliharaan kesehatan yang optimal
Intervensi :
  1. Kaji pemahaman pasien tentang hubungan langsung antara hipertensi dan kegemukan
Rasional:kegemukan adalah resiko tambahan pada hipertensi
b.   Kaji ulang masukan kalori harian dan pilihan diet
Rasional :Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dalam program diet  terakhir
c.   Instruksikan da bantu memilih makanan yang tepat,hindari makanan dengan kejenuhan lemak tinggi dan kolestrol
Rasional: Menghindari makanan tinggi lemak jenuh dan kolestrol
d.   Berkolaborasi dengan ahli gizi sesuai indikasi
Rasional :Memberikan konseling dan bantuan dengan memenuhi kebutuhan diet individu


Diagnosa Keperawatan

Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar), mengenai kondisi, rencana pengobatan berhubungan dengan kurangnya pengetahuan/daya ingat

Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan pengobatannya
Kriteria Hasil : pasien dapat mengidentifikasi efek samping obat.
Intervensi :
  1. Kaji kesiapan dan hambatan dalam belajar,termasuk orang terdekat
Rasional :Untuk mengetahui sejauh mana pasien paham tentang penyakitnya
  1. Tetapkan dan nyatakan batas TD normal,menjelaskan tentang hipertensi dan efek pada jantung,
Rasional : Memberi dasar untuk pemahaman tentang peningkatan TD
  1. Bantu pasien untuk mengidentifikasi faktor-faktor resiko kardiovaskuler yang dapat diubah
Rasional : Untuk menunjukkan hubungan dalam menunjang hipertensi dan penyakit kardiovaskuler
  1. Atasi masalah pasien untuk mengidentifikasi cara perubahan gaya hidup dan membahas bahayanya merokok
Rasional : Membantu mengarahkan pola hidup yang lebih sehat


4.     Evaluasi

Resiko penurunan jantung tidak terjadi, intoleransi aktivitas dapat
teratasi, gangguan rasa nyeri klien berkurang bahkan hilang, gangguan nutrisi dapat teratasi, dan pengetahuan dapat teratasi.



A. KESIMPULAN



Hipertensi adalah peningkatan abnormal pada tekanan sistolik 140 mmHg atau lebih dan tekanan diastolik 120 mmHg (Sharon, L.Rogen, 1996).
Pada umumnya hipertensi tidak mempunyai penyebab yang spesifik. Namun ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi:Genetik, obesitas, stress lingkungan, hilangnya elastisitas jaringan dan arterisklerosis pada orang tua serta pelebaran pembuluh darah.
Berdasarkan etiologinya Hipertensi dibagi menjadi 2 golongan yaitu: hipertensi esensial (primer) penyebab tidak diketahui namun banyak faktor yang mempengaruhi, seperti genetika, lingkungan, hiperaktivitas, susunan saraf simpatik, system rennin angiotensin, efek dari eksresi Na, obesitas, merokok dan stress, hipertensi sekunder dapat diakibatkan karena penyakit parenkim renal/vaskuler renal. Penggunaan kontrasepsi oral yaitu pil. Gangguan endokrin dll.
Manifestasi klinis pada klien dengan hipertensi adalah : peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg, sakit kepala,epistaksis pusing / migrain rasa berat ditengkuk, sukar tidur, mata berkunang kunang, lemah dan lelah, nokturia, azotemia.
Pemeriksaan Penunjang seperti pemeriksaan laborat: Hb/Ht, BUN / kreatinin, glukosa, urinalisa, CT Scan, EKG, IUP , foto dada
Penatalaksanaan :P enatalaksanaan Non Farmakologis seperti diet pembatasan atau pengurangan konsumsi garam,aktivitas seperti klien disarankan untuk berpartisipasi pada kegiatan dan disesuaikan dengan batasan medis dan sesuai dengan kemampuan seperti berjalan, jogging,bersepeda atau berenang.Penatalaksanaan Farmakologis.
Dalam pengkajian pada klien yang menderita hipertensi yang harus dikaji seperti : aktivitas/ Istirahat, sirkulasi, integritas ego,eliminasi, makanan/cairan, neurosensori, nyeri/ ketidaknyamanan, keamanan, pernafasan.
Diagnosa Keperawatan yang sering muncul, resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan afterload, vasokonstriksi, iskemia miokard, hipertropi ventricular, intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan O2, gangguan rasa nyaman : nyeri ( sakit kepala ) berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler serebral, potensial perubahan perfusi jaringan: serebral, ginjal, jantung berhubungan dengan gangguan sirkulasi.










DAFTAR PUSTAKA


Brunner & Suddarth.  2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol 2. Jakarta: EGC.
Doengoes, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk   Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan pasien. Jakarta: EGC.
Syaifuddin.  2006.  Anatomi Fisiologi untuk mahasiswa keperawatan. Jakarta: EGC
Suyono, Slamet. 1996. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Gaya Baru


Diposting oleh STIKES FITHRAH ALDAR LUBUKLINGGAU NGEBLOG di 22.19 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

ASUHAN KEPERAWATAN RHEUMATOID ARTRITIS di Stikes FA Ngeblog

ASUHAN KEPERAWATAN RHEUMATOID ARTRITIS
 
A.Konsep Dasar Medis

1. Definisi

Rematoid Artritis merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang manifestasi utamanya adalah poliartritis yang progresif, akan tetapi penyakit ini juga melibatkan seluruh organ tubuh.(Hidayat, 2006)
Artritis Rematoid adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) secara simetris mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi.(www.medicastore.com)

2. Anatomi dan Fisiologi

Muskuloskeletal terdiri dari tulang, otot, kartilago, ligament, tendon, fasia, bursae dan persendian.

a. Tulang

Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada bagian intra-seluler. Tulang berasal dari embryonic hyaline cartilage yang mana melalui proses “osteogenesis” menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut Osteoblast. Proses mengerasnya tulang akibat menimbunya garam kalsium.

Fungsi tulang adalah sebagai berikut:
• Mendukung jaringan tubuh dan menbuntuk tubuh.
• Melindungi organ tubuh (jantung, otak, paru-paru) dan jaringan lunak.
• Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan kontraksi dan pergerakan )
• Membuat sel-sel darah merah di dalam sumsum tulang (hema topoiesis).
• Menyimpan garam-garam mineral. Misalnya kalsium, fosfor.
Tulang dapat diklasifikasikan dalam lima kelompok berdasarkan bentuknya:
• Tulang panjang (femur, humerus ) terdiri dari satu batang dan dua epifisis. Batang dibentuk oleh jaringan tulang yang padat.epifisis dibentuk oleh spongi bone (Cacellous atau trabecular )
• Tulang pendek (carpalas) bentuknya tidak teratur dan cancellous (spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat.
• Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri dari dua lapisan tulang padat dengan lapisan luar adalah tulang cancellous.
• Tulang yang tidak beraturan (vertebra) sama seperti tulang pendek.
• Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar tulang yang berdekatan dengan persendian dan didukung oleh tendon danjaringan fasial,missal patella (kap lutut)

b. Otot

Otot dibagi dalam tiga kelompok, dengan fungsi utama untuk kontraksi dan untuk menghasilkan pergerakan dari bagian tubuh atau seluruh tubuh. Kelompok otot terdiri dari:
• Otot rangka (otot lurik) didapatkan pada system skeletal dan berfungsi untuk memberikan pengontrolan pergerakan, mempertahankan sikap dan menghasilkan panas
• Otot Viseral (otot polos) didapatkan pada saluran pencernaan, saluran perkemihan dan pembuluh darah. Dipengaruhi oleh sisten saraf otonom dan kontraksinya tidak dibawah control keinginan.
• Otot jantung didapatkan hanya pada jantung dan kontraksinya tidak dibawah control keinginan.

c. Kartilago

Kartilago terdiri dari serat-serat yang dilakukan pada gelatin yang kuat. Kartilago sangat kuat tapi fleksibel dan tidak bervascular. Nutrisi mencapai kesel-sel kartilago dengan proses difusi melalui gelatin dari kapiler-kapiler yang berada di perichondrium (fibros yang menutupi kartilago) atau sejumlah serat-serat kolagen didapatkan pada kartilago.

d. Ligament

Ligament adalah sekumpulan dari jaringan fibros yang tebal dimana merupakan ahir dari suatu otot dan dan berfungsi mengikat suatu tulang.

e. Tendon

Tendon adalah suatu perpanjangan dari pembungkus fibrous yang membungkus setiap otot dan berkaitan dengan periosteum jaringan penyambung yang mengelilingi tendon tertentu, khususnya pada pergelangan tangan dan tumit. Pembungkus ini dibatasi oleh membrane synofial yang memberikan lumbrikasi untuk memudahkan pergerakan tendon.

f. Fasia

Fasia adalah suatu permukaan jaringan penyambung longgar yang didapatkan langsung dibawah kulit sebagai fasia supervisial atau sebagai pembungkus tebal, jaringan penyambung yang membungkus fibrous yang membungkus otot, saraf dan pembuluh darah.bagian ahair diketahui sebagai fasia dalam.

g. Bursae

Bursae adalah suatu kantong kecil dari jaringan penyambung dari suatu tempat, dimana digunakan diatas bagian yang bergerak, misalnya terjadi pada kulit dan tulang, antara tendon dan tulang antara otot. Bursae bertindak sebagai penampang antara bagian yang bergerak sepaerti pada olecranon bursae, terletak antara presesus dan kulit.

h. Persendian

Pergerakan tidak akan mungkin terjadi bila kelenturan dalam rangka tulang tidak ada. Kelenturan dimungkinkan karena adanya persendian, tatu letah dimana tulang berada bersama-sama. Bentuk dari persendian akan ditetapkan berdasarkan jumlah dan tipe pergerakan yang memungkinkan dan klasifikasi didasarkan pada jumlah pergerakan yang dilakukan.

Berdasarkan klasifikasinya terdapat 3 kelas utama persendian yaitu:
• Sendi synarthroses (sendi yang tidak bergerak)
• Sendi amphiartroses (sendi yang sedikit pergerakannya)
• Sendi diarthoses (sendi yang banyak pergerakannya)

Perubahan fisiologis pada proses menjadi tua

Ada jangka periode waktu tertentu dimana individu paling mudah mengalami perubahan musculoskeletal. Perubahan ini terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja karena pertumbuhan atau perkembangan yang cepat atau timbulnya terjadi pada usia tua. Perubahan struktur system muskuloskeletal dan fungsinya sangat bervariasi diantara individu selama proses menjadi tua.
Perubahan yang terjadi pada proses menjadi tua merupakan suatu kelanjutan dari kemunduran yang dimulai dari usia pertengahan. Jumlah total dari sel-sel bertumbuh berkurang akibat perubahan jaringan prnyambung, penurunan pada jumlah dan elasitas dari jaringan subkutan dan hilangnya serat otot, tonus dan kekuatan.

Perubahan fisiologis yang umum adalah:
• Adanya penurunan yang umum pada tinggi badan sekitar 6-10 cm. pada maturasi usia tua.
• Lebar bahu menurun.
• Fleksi terjadi pada lutut dan pangkal paha
3. Etiologi
Hingga kini penyebab Remotoid Artritis (RA) tidak diketahui, tetapi beberapa hipotesa menunjukan bahwa RA dipengaruhi oleh faktor-faktor :
a. Mekanisme IMUN ( Antigen-Antibody) seperti interaksi antara IGC dan faktor Rematoid
b. Gangguan Metabolisme
c. Genetik
d. Faktor lain : nutrisi dan faktor lingkungan (pekerjaan dan psikososial)
4. Patofisiologi

Cidera mikro vascular dan jumlah sel yang membatasi dinding sinovium merupakan lesi paling dini pada sinovisis remotoid. Sifat trauma yang menimbulkan respon ini masih belum diketahui. Kemudian, tampak peningkatan jumlah sel yang membatasi dinding sinovium bersama sel mononukleus privaskular. Seiring dengan perkembangan proses sinovium edematosa dan menonjol kedalam rongga sendi sebagai tonjolan-tonjolon vilosa.

Pada penyakit Rematoid Artritis terdapat 3 stadium yaitu :
a. Stadium Sinovisis
Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat istirahat maupun saat bergerak, bengkak dan kekakuan.
b. Stadium Destruksi
Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga pada jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon.
c. Stadium Deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas dan gangguan fungsi secara menetap.

5. Tanda dan Gejala
Pasien-pasien dengan RA akan menunjukan tanda dan gejala seperti :
a. Nyeri persendian
b. Bengkak (Rheumatoid nodule)
c. Kekakuan pada sendi terutama setelah bangun tidur pada pagi hari
d. Terbatasnya pergerakan
e. Sendi-sendi terasa panas
f. Demam (pireksia)
g. Anemia
h. Berat badan menurun
i. Kekuatan berkurang
j. Tampak warna kemerahan di sekitar sendi
k. Perubahan ukuran pada sendi dari ukuran normal
l. Pasien tampak anemik

Pada tahap yang lanjut akan ditemukan tanda dan gejala seperti :
a. Gerakan menjadi terbatas
b. Adanya nyeri tekan
c. Deformitas bertambah pembengkakan
d. Kelemahan
e. Depresi

Gejala Extraartikular :
a. pada jantung :
  1.  Rheumatoid heard diseasure
  2.  Valvula lesion (gangguan katub)
  3.  Pericarditis
  4.  Myocarditis
b. pada mata :
  1. Keratokonjungtivitis
  2.  Scleritis
c. pada lympa : Lhymphadenopathy
d. pada thyroid : Lyphocytic thyroiditis
e. pada otot : Mycsitis
6. Pemeriksaan Diagnostik
  • Faktor Reumatoid : positif pada 80-95% kasus.
  • Fiksasi lateks: Positif pada 75 % dari kasus-kasus khas.
  • Reaksi-reaksi aglutinasi : Positif pada lebih dari 50% kasus-kasus khas.
  •  LED : Umumnya meningkat pesat ( 80-100 mm/h) mungkin kembali normal sewaktu gejala-gejala meningkat
  •  Protein C-reaktif: positif selama masa eksaserbasi.
  •  SDP: Meningkat pada waktu timbul prosaes inflamasi.
  • JDL : umumnya menunjukkan anemia sedang.
  •  Ig ( Ig M dan Ig G); peningkatan besar menunjukkan proses autoimun sebagai penyebab AR.
  •  Sinar X dari sendi yang sakit : menunjukkan pembengkakan pada jaringan lunak, erosi sendi, dan osteoporosis dari tulang yang berdekatan ( perubahan awal ) berkembang menjadi formasi kista tulang, memperkecil jarak sendi dan subluksasio. Perubahan osteoartristik yang terjadi secara bersamaan.
• Scan radionuklida : identifikasi peradangan sinovium
• Artroskopi Langsung : Visualisasi dari area yang menunjukkan irregularitas/ degenerasi tulang pada sendi
• Aspirasi cairan sinovial : mungkin menunjukkan volume yang lebih besar dari normal: buram, berkabut, munculnya warna kuning ( respon inflamasi, produk-produk pembuangan degeneratif ); elevasi SDP dan lekosit, penurunan viskositas dan komplemen ( C3 dan C4 ).
• Biopsi membran sinovial : menunjukkan perubahan inflamasi dan perkembangan panas.
Kriteria diagnostik Artritis Reumatoid adalah terdapat poli- arthritis yang simetris yang mengenai sendi-sendi proksimal jari tangan dan kaki serta menetap sekurang-kurangnya 6 minggu atau lebih bila ditemukan nodul subkutan atau gambaran erosi peri-artikuler pada foto rontgen.
Kriteria Artritis rematoid menurut American Reumatism Association ( ARA ) adalah:
1. Kekakuan sendi jari-jari tangan pada pagi hari ( Morning Stiffness ).
2. Nyeri pada pergerakan sendi atau nyeri tekan sekurang-kurangnya pada satu sendi.
3. Pembengkakan ( oleh penebalan jaringan lunak atau oleh efusi cairan ) pada salah satu sendi secara terus-menerus sekurang-kurangnya selama 6 minggu.
4. Pembengkakan pada sekurang-kurangnya salah satu sendi lain.
5. Pembengkakan sendi yanmg bersifat simetris.
6. Nodul subcutan pada daerah tonjolan tulang didaerah ekstensor.
7. Gambaran foto rontgen yang khas pada arthritis rheumatoid
8. Uji aglutinnasi faktor rheumatoid
9. Pengendapan cairan musin yang jelek
10. Perubahan karakteristik histologik lapisan sinovia
11. gambaran histologik yang khas pada nodul.
Berdasarkan kriteria ini maka disebut :
Klasik : bila terdapat 7 kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya selama 6 minggu
Definitif : bila terdapat 5 kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya selama 6 minggu.
Kemungkinan rheumatoid : bila terdapat 3 kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya selama 4 minggu.
7. Penatalaksanaan Medik
Penatalaksanaan medik pada pasien RA diantaranya :
a) Pendidikan : meliputi tentang pengertian, patofisiologi, penyebab, dan prognosis penyakit ini
b) Istirahat : karena pada RA ini disertai rasa lelah yang hebat
c) Latihan : pada saat pasien tidak merasa lelah atau inflamasi berkurang, ini bertujuan untuk mempertahankan fungsi sendi pasien
d) Termoterapi
e) Gizi yaitu dengan memberikan gizi yang tepat
f) Pemberian Obat-obatan :
• Anti Inflamasi non steroid (NSAID) contoh:aspirin yang diberikan pada dosis yang telah ditentukan.
• Obat-obat untuk Reumatoid Artitis :
• Acetyl salicylic acid, Cholyn salicylate (Analgetik, Antipyretik, Anty Inflamatory)
• Indomethacin/Indocin(Analgetik, Anti Inflamatori)
• Ibufropen/motrin (Analgetik, Anti Inflamatori)
• Tolmetin sodium/Tolectin(Analgetik Anti Inflamatori)
• Naproxsen/naprosin (Analgetik, Anti Inflamatori)
• Sulindac/Clinoril (Analgetik, Anti Inflamatori)
• Piroxicam/Feldene (Analgetik, Anti Inflamatori)
8. Komplikasi
a. Dapat menimbulkan perubahan pada jaringan lain seperti adanya proses granulasi di bawah kulit yang disebut subcutan nodule
b. Pada otot dapat terjadi myosis, yaitu proses granulasi jaringan otot
c. Pada pembuluh darah terjadi tromboemboli
d. Terjadi splenomegali
Konsep Asuhan Keperawatan
Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien tergantung pada keparahan dan keterlibatan organ-organ lainnya ( misalnya mata, jantung, paru-paru, ginjal ), tahapan misalnya eksaserbasi akut atau remisi dan keberadaaan bersama bentuk-bentuk arthritis lainnya.
Pengkajian 11 Pola Gordon
1. Pola Persepsi Kesehatan- Pemeliharaan Kesehatan
• Apakah pernah mengalami sakit pada sendi-sendi?
• Riwayat penyakit yang pernah diderita sebelumnya?
• Riwayat keluarga dengan RA
• Riwayat keluarga dengan penyakit autoimun
• Riwayat infeksi virus, bakteri, parasit dll
2. Pola Nutrisi Metabolik
• Jenis, frekuensi, jumlah makanan yang dikonsumsi (makanan yang banyak mengandung pospor(zat kapur), vitamin dan protein)
• Riwayat gangguan metabolic
3. Pola Eliminasi
• Adakah gangguan pada saat BAB dan BAK?
4. Pola Aktivitas dan Latihan
• Kebiasaan aktivitas sehari-hari sebelum dan sesudah sakit
• Jenis aktivitas yang dilakukan
• Rasa sakit/nyeri pada saat melakukan aktivitas
• Tidak mampu melakukan aktifitas berat
5. Pola Istirahat dan Tidur
• Apakah ada gangguan tidur?
• Kebiasaan tidur sehari
• Terjadi kekakuan selama 1/2-1 jam setelah bangun tidur
• Adakah rasa nyeri pada saat istirahat dan tidur?
6.Pola Persepsi Kognitif
• Adakah nyeri sendi saat digerakan atau istirahat?
7. Pola Persepsi dan Konsep Diri
• Adakah perubahan pada bentuk tubuh (deformitas/kaku sendi)?
• Apakah pasien merasa malu dan minder dengan penyakitnya?
8. Pola Peran dan Hubungan dengan Sesama
• Bagaimana hubungan dengan keluarga?
• Apakah ada perubahan peran pada klien?
9. Pola Reproduksi Seksualitas
• Adakah gangguan seksualitas?
10. Pola Mekanisme Koping dan Toleransi terhadap Stress
• Adakah perasaan takut, cemas akan penyakit yang diderita?
11. Pola Sistem Kepercayaan
• Agama yang dianut?
• Adakah gangguan beribadah?
• Apakah klien menyerahkan sepenuhnya penyakitnya kepada Tuhan
Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan agen pencedera, distensi jaringan oleh akumulasi cairan/ proses inflamasi, destruksi sendi.
Dapat dibuktikan oleh : Keluhan nyeri, ketidaknyamanan, kelelahan, berfokus pada diri sendiri, Perilaku distraksi/ respons autonomic
Perilaku yang bersifat hati-hati/ melindungi.
Hasil yang diharapkan/ kriteria evaluasi pasien akan:
• Menunjukkan nyeri hilang/ terkontrol
• Terlihat rileks, dapat tidur/beristirahat dan berpartisipasi dalam aktivitas sesuai kemampuan.
• Mengikuti program farmakologis yang diresepkan
• Menggabungkan keterampilan relaksasi dan aktivitas hiburan ke dalam program kontrol nyeri.
Intervensi dan Rasional :
a. Selidiki keluhan nyeri, catat lokasi dan intensitas (skala 0-10). Catat faktor-faktor yang mempercepat dan tanda-tanda rasa sakit non verbal (R/ Membantu dalam menentukan kebutuhan manajemen nyeri dan keefektifan program)
b. Berikan matras/ kasur keras, bantal kecil,. Tinggikan linen tempat tidur sesuai kebutuhan (R/Matras yang lembut/ empuk, bantal yang besar akan mencegah pemeliharaan kesejajaran tubuh yang tepat, menempatkan stress pada sendi yang sakit. Peninggian linen tempat tidur menurunkan tekanan pada sendi yang terinflamasi/nyeri)
c. Tempatkan/ pantau penggunaan bantl, karung pasir, gulungan trokhanter, bebat, brace. (R/ Mengistirahatkan sendi-sendi yang sakit dan mempertahankan posisi netral. Penggunaan brace dapat menurunkan nyeri dan dapat mengurangi kerusakan pada sendi)
d. Dorong untuk sering mengubah posisi,. Bantu untuk bergerak di tempat tidur, sokong sendi yang sakit di atas dan bawah, hindari gerakan yang menyentak. (R/ Mencegah terjadinya kelelahan umum dan kekakuan sendi. Menstabilkan sendi, mengurangi gerakan/ rasa sakit pada sendi)
e. Anjurkan pasien untuk mandi air hangat atau mandi pancuran pada waktu bangun dan/atau pada waktu tidur. Sediakan waslap hangat untuk mengompres sendi-sendi yang sakit beberapa kali sehari. Pantau suhu air kompres, air mandi, dan sebagainya. (R/ Panas meningkatkan relaksasi otot, dan mobilitas, menurunkan rasa sakit dan melepaskan kekakuan di pagi hari. Sensitivitas pada panas dapat dihilangkan dan luka dermal dapat disembuhkan)
f. Berikan masase yang lembut (R/meningkatkan relaksasi/ mengurangi nyeri)
g. Dorong penggunaan teknik manajemen stres, misalnya relaksasi progresif,sentuhan terapeutik, biofeed back, visualisasi, pedoman imajinasi, hypnosis diri, dan pengendalian napas. (R/ Meningkatkan relaksasi, memberikan rasa kontrol dan mungkin meningkatkan kemampuan koping)Libatkan dalam aktivitas hiburan yang sesuai untuk situasi individu. (R/ Memfokuskan kembali perhatian, memberikan stimulasi, dan meningkatkan rasa percaya diri dan perasaan sehat)
h. Beri obat sebelum aktivitas/ latihan yang direncanakan sesuai petunjuk. (R/ Meningkatkan realaksasi, mengurangi tegangan otot/ spasme, memudahkan untuk ikut serta dalam terapi)
h. Kolaborasi: Berikan obat-obatan sesuai petunjuk (mis:asetil salisilat) (R/ sebagai anti inflamasi dan efek analgesik ringan dalam mengurangi kekakuan dan meningkatkan mobilitas.)
i. Berikan kompres dingin jika dibutuhkan (R/ Rasa dingin dapat menghilangkan nyeri dan bengkak selama periode akut)
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas skeletal,
nyeri, penurunan kekuatan otot.
Dapat dibuktikan oleh : Keengganan untuk mencoba bergerak/ ketidakmampuan untuk dengan sendiri bergerak dalam lingkungan fisik.
Membatasi rentang gerak, ketidakseimbangan koordinasi, penurunan kekuatan otot/ kontrol dan massa ( tahap lanjut ).
Hasil yang diharapkan/ kriteria Evaluasi-Pasien akan :
• Mempertahankan fungsi posisi dengan tidak hadirnya/ pembatasan kontraktur.
• Mempertahankan ataupun meningkatkan kekuatan dan fungsi dari dan/ atau kompensasi bagian tubuh.
• Mendemonstrasikan tehnik/ perilaku yang memungkinkan melakukan aktivitas
Intervensi dan Rasional:
a. Evaluasi/ lanjutkan pemantauan tingkat inflamasi/ rasa sakit pada sendi (R/ Tingkat aktivitas/ latihan tergantung dari perkembangan/ resolusi dari peoses inflamasi)
b. Pertahankan istirahat tirah baring/ duduk jika diperlukan jadwal aktivitas untuk memberikan periode istirahat yang terus menerus dan tidur malam hari yang tidak terganmggu.(R/ Istirahat sistemik dianjurkan selama eksaserbasi akut dan seluruh fase penyakit yang penting untuk mencegah kelelahan mempertahankan kekuatan)
c. Bantu dengan rentang gerak aktif/pasif, demikiqan juga latihan resistif dan isometris jika memungkinkan (R/ Mempertahankan/ meningkatkan fungsi sendi, kekuatan otot dan stamina umum. Catatan : latihan tidak adekuat menimbulkan kekakuan sendi, karenanya aktivitas yang berlebihan dapat merusak sendi)
d. Ubah posisi dengan sering dengan jumlah personel cukup. Demonstrasikan/ bantu tehnik pemindahan dan penggunaan bantuan mobilitas, mis, trapeze (R/ Menghilangkan tekanan pada jaringan dan meningkatkan sirkulasi. Mempermudah perawatan diri dan kemandirian pasien. Tehnik pemindahan yang tepat dapat mencegah robekan abrasi kulit)
e. Posisikan dengan bantal, kantung pasir, gulungan trokanter, bebat, brace (R/ Meningkatkan stabilitas ( mengurangi resiko cidera ) dan memerptahankan posisi sendi yang diperlukan dan kesejajaran tubuh, mengurangi kontraktor)
f. Gunakan bantal kecil/tipis di bawah leher. (R/ Mencegah fleksi leher)
g. Dorong pasien mempertahankan postur tegak dan duduk tinggi, berdiri, dan berjalan (R/ Memaksimalkan fungsi sendi dan mempertahankan mobilitas)
h. Berikan lingkungan yang aman, misalnya menaikkan kursi, menggunakan pegangan tangga pada toilet, penggunaan kursi roda. (R/ Menghindari cidera akibat kecelakaan/ jatuh)
i. Kolaborasi: konsul dengan fisoterapi. (R/ Berguna dalam memformulasikan program latihan/ aktivitas yang berdasarkan pada kebutuhan individual dan dalam mengidentifikasikan alat)
j. Kolaborasi: Berikan matras busa/ pengubah tekanan. (R/ Menurunkan tekanan pada jaringan yang mudah pecah untuk mengurangi risiko imobilitas)
k. Kolaborasi: berikan obat-obatan sesuai indikasi (steroid). (R/ Mungkin dibutuhkan untuk menekan sistem inflamasi akut).
3. Gangguan Citra Tubuh / Perubahan Penampilan Peran berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas umum, peningkatan penggunaan energi, ketidakseimbangan mobilitas.
Dapat dibuktikan oleh : Perubahan fungsi dari bagian-bagian yang sakit.
Bicara negatif tentang diri sendiri, fokus pada kekuatan masa lalu, dan penampilan.
Perubahan pada gaya hidup/ kemapuan fisik untuk melanjutkan peran, kehilangan pekerjaan, ketergantungan pada orang terdekat.
Perubahan pada keterlibatan sosial; rasa terisolasi.
Perasaan tidak berdaya, putus asa.
Hasil yang diharapkan / kriteria Evaluasi-Pasien akan :
• Mengungkapkan peningkatan rasa percaya diri dalam kemampuan untuk menghadapi penyakit, perubahan pada gaya hidup, dan kemungkinan keterbatasan.
• Menyusun rencana realistis untuk masa depan.
Intervensi dan Rasional:.
a. Dorong pengungkapan mengenai masalah tentang proses penyakit, harapan masa depan. (R/Berikan kesempatan untuk mengidentifikasi rasa takut/ kesalahan konsep dan menghadapinya secara langsung)
b. Diskusikan arti dari kehilangan/ perubahan pada pasien/orang terdekat. Memastikan bagaimana pandangaqn pribadi pasien dalam memfungsikan gaya hidup sehari-hari, termasuk aspek-aspek seksual. (R/Mengidentifikasi bagaimana penyakit mempengaruhi persepsi diri dan interaksi dengan orang lain akan menentukan kebutuhan terhadap intervensi/ konseling lebih lanjut)
c. Diskusikan persepsi pasienmengenai bagaimana orang terdekat menerima keterbatasan. (R/ Isyarat verbal/non verbal orang terdekat dapat mempunyai pengaruh mayor pada bagaimana pasien memandang dirinya sendiri)
d. Akui dan terima perasaan berduka, bermusuhan, ketergantungan. (R/ Nyeri konstan akan melelahkan, dan perasaan marah dan bermusuhan umum terjadi)
e. Perhatikan perilaku menarik diri, penggunaan menyangkal atau terlalu memperhatikan perubahan. (R/ Dapat menunjukkan emosional ataupun metode koping maladaptive, membutuhkan intervensi lebih lanjut)
f. Susun batasan pada perilaku mal adaptif. Bantu pasien untuk mengidentifikasi perilaku positif yang dapat membantu koping. (R/ Membantu pasien untuk mempertahankan kontrol diri, yang dapat meningkatkan perasaan harga diri)
g. Ikut sertakan pasien dalam merencanakan perawatan dan membuat jadwal aktivitas. (Meningkatkan perasaan harga diri, mendorong kemandirian, dan mendorong berpartisipasi dalam terapi)
h. Bantu dalam kebutuhan perawatan yang diperlukan.(R/ Mempertahankan penampilan yang dapat meningkatkan citra diri)
i. Berikan bantuan positif bila perlu. (R/ Memungkinkan pasien untuk merasa senang terhadap dirinya sendiri. Menguatkan perilaku positif. Meningkatkan rasa percaya diri)
j. Kolaborasi: Rujuk pada konseling psikiatri, mis: perawat spesialis psikiatri, psikolog. (R/ Pasien/orang terdekat mungkin membutuhkan dukungan selama berhadapan dengan proses jangka panjang/ ketidakmampuan)
k. Kolaborasi: Berikan obat-obatan sesuai petunjuk, mis; anti ansietas dan obat-obatan peningkat alam perasaan. (R/ Mungkin dibutuhkan pada sat munculnya depresi hebat sampai pasien mengembangkan kemapuan koping yang lebih efektif)
4. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kerusakan musculoskeletal, penurunan kekuatan, daya tahan, nyeri pada waktu bergerak, depresi.
Dapat dibuktikan oleh : Ketidakmampuan untuk mengatur kegiatan sehari-hari.
Hasil yang diharapkan/ kriteria Evaluasi-Pasien akan :
• Melaksanakan aktivitas perawatan diri pada tingkat yang konsisten dengan kemampuan individual.
• Mendemonstrasikan perubahan teknik/ gaya hidup untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.
• Mengidentifikasi sumber-sumber pribadi/ komunitas yang dapat memenuhi kebutuhan perawatan diri.
Intervensi dan Rasional:
a. Diskusikan tingkat fungsi umum (0-4) sebelum timbul awitan/ eksaserbasi penyakit dan potensial perubahan yang sekarang diantisipasi. (R/ Mungkin dapat melanjutkan aktivitas umum dengan melakukan adaptasi yang diperlukan pada keterbatasan saat ini).
b. Pertakhankan mobilitas, kontrol terhadap nyeri dan program latihan. (R/ Mendukung kemandirian fisik/emosional)
c. Kaji hambatan terhadap partisipasi dalam perawatan diri. Identifikasi /rencana untuk modifikasi lingkungan. (R/ Menyiapkan untuk meningkatkan kemandirian, yang akan meningkatkan harga diri)
d. Kolaborasi: Konsul dengan ahli terapi okupasi. (R/ Berguna untuk menentukan alat bantu untuk memenuhi kebutuhan individual. Mis; memasang kancing, menggunakan alat bantu memakai sepatu, menggantungkan pegangan untuk mandi pancuran)
e. Kolaborasi: Atur evaluasi kesehatan di rumah sebelum pemulangan dengan evaluasi setelahnya. (R/ Mengidentifikasi masalah-masalah yang mungkin dihadapi karena tingkat kemampuan aktual)
f. Kolaborasi : atur konsul dengan lembaga lainnya, mis: pelayanan perawatan rumah, ahli nutrisi. (R/ Mungkin membutuhkan berbagai bantuan tambahan untuk persiapan situasi di rumah)
5. Kebutuhan pembelajaran mengenai penyakit, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya pemajanan/ mengingat, kesalahan interpretasi informasi.
Dapat dibuktikan oleh : Pertanyaan/ permintaan informasi, pernyataan kesalahan konsep.
Tidak tepat mengikuti instruksi/ terjadinya komplikasi yang dapat dicegah.
Hasil yangdihapkan/ kriteria Evaluasi-Pasien akan :
• Menunjukkan pemahaman tentang kondisi/ prognosis, perawatan.
• Mengembangkan rencana untuk perawatan diri, termasuk modifikasi gaya hidup yang konsisten dengan mobilitas dan atau pembatasan aktivitas.
Intervensi dan Rasional:.
a. Tinjau proses penyakit, prognosis, dan harapan masa depan. (R/ Memberikan pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi)
b. Diskusikan kebiasaan pasien dalam penatalaksanaan proses sakit melalui diet,obat-obatan, dan program diet seimbang, l;atihan dan istirahat.(R/ Tujuan kontrol penyakit adalah untuk menekan inflamasi sendiri/ jaringan lain untuk mempertahankan fungsi sendi dan mencegah deformitas)
c. Bantu dalam merencanakan jadwal aktivitas terintegrasi yang realistis,istirahat, perawatan pribadi, pemberian obat-obatan, terapi fisik, dan manajemen stres. (R/ Memberikan struktur dan mengurangi ansietas pada waktu menangani proses penyakit kronis kompleks)
d. Tekankan pentingnya melanjutkan manajemen farmakoterapeutik. (R/ Keuntungan dari terapi obat-obatan tergantung pada ketepatan dosis)
e. Anjurkan mencerna obat-obatan dengan makanan, susu, atau antasida pada waktu tidur. (R/ Membatasi irigasi gaster, pengurangan nyeri pada HS akan meningkatkan tidur dan m,engurangi kekakuan di pagi hari)
f. Identifikasi efek samping obat-obatan yang merugikan, mis: tinitus, perdarahan gastrointestinal, dan ruam purpuruik. (R/ Memperpanjang dan memaksimalkan dosis aspirin dapat mengakibatkan takar lajak. Tinitus umumnya mengindikasikan kadar terapeutik darah yang tinggi)
g. Tekankan pentingnya membaca label produk dan mengurangi penggunaan obat-obat yang dijual bebas tanpa persetujuan dokter. (R/ Banyak produk mengandung salisilat tersembunyi yang dapat meningkatkan risiko takar layak obat/ efek samping yang berbahaya)
h. Tinjau pentingnya diet yang seimbang dengan makanan yang banyak mengandung vitamin, protein dan zat besi. (R/ Meningkatkan perasaan sehat umum dan perbaikan jaringan)
i. Dorong pasien obesitas untuk menurunkan berat badan dan berikan informasi penurunan berat badan sesuai kebutuhan. (R/ Pengurangan berat badan akan mengurangi tekanan pada sendi, terutama pinggul, lutut, pergelangan kaki, telapak kaki)
j. Berikan informasi mengenai alat bantu (R/ Mengurangi paksaan untuk menggunakan sendi dan memungkinkan individu untuk ikut serta secara lebih nyaman dalam aktivitas yang dibutuhkan)
k. Diskusikan tekinik menghemat energi, mis: duduk daripada berdiri untuk mempersiapkan makanan dan mandi (R/ Mencegah kepenatan, memberikan kemudahan perawatan diri, dan kemandirian)
l. Dorong mempertahankan posisi tubuh yang benar baik pada sat istirahat maupun pada waktu melakukan aktivitas, misalnya menjaga agar sendi tetap meregang , tidak fleksi, menggunakan bebat untuk periode yang ditentukan, menempatkan tangan dekat pada pusat tubuh selama menggunakan, dan bergeser daripada mengangkat benda jika memungkinkan. ( R: mekanika tubuh yang baik harus menjadi bagian dari gaya hidup pasien untuk mengurangi tekanan sendi dan nyeri ).
m. Tinjau perlunya inspeksi sering pada kulit dan perawatan kulit lainnya dibawah bebat, gips, alat penyokong. Tunjukkan pemberian bantalan yang tepat. ( R: mengurangi resiko iritasi/ kerusakan kulit )
n. Diskusikan pentingnya obat obatan lanjutan/ pemeriksaan laboratorium, mis: LED, Kadar salisilat, PT. ( R; Terapi obat obatan membutuhkan pengkajian/ perbaikan yang terus menerus untuk menjamin efek optimal dan mencegah takar lajak, efek samping yang berbahaya.
o. Berikan konseling seksual sesuai kebutuhan ( R: Informasi mengenai posisi-posisi yang berbeda dan tehnik atau pilihan lain untuk pemenuhan seksual mungkin dapat meningkatkan hubungan pribadi dan perasaan harga diri/ percaya diri.).
p. Identifikasi sumber-sumber komunitas, mis: yayasan arthritis ( bila ada). (R: bantuan/ dukungan dari oranmg lain untuk meningkatkan pemulihan maksimal).

Referensi :
Hollmann DB. Arthritis & musculoskeletal disorders. In: Tierney LM, McPhee, Papadakis MA (Eds): Current Medical Diagnosis & Treatment, 34 th ed., Appleton & Lange, International Edition, Connecticut 2005, 729-32.

Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC. 2002.
www.perawatblogger.com./asuhan_keperawatan_rheumatoid_artritis.html( di akses
07 Desember 2009 ).

www.askepnurse.blogspot.com/askep_rheumatoid_artritis.mht ( diakses tanggal 11 Desember 2009)
Diposting oleh STIKES FITHRAH ALDAR LUBUKLINGGAU NGEBLOG di 21.49 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Artritis reumatoid DI Stikes FA Lubuklinggau ngeblog


Artritis reumatoid



 

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Radang sendi atau artritis reumatoid (bahasa Inggris: Rheumatoid Arthritis, RA) merupakan penyakit autoimun (penyakit yang terjadi pada saat tubuh diserang oleh sistem kekebalan tubuhnya sendiri) yang mengakibatkan peradangan dalam waktu lama pada sendi. Penyakit ini menyerang persendian, biasanya mengenai banyak sendi, yang ditandai dengan radang pada membran sinovial dan struktur-struktur sendi serta atrofi otot dan penipisan tulang.

Pada Gambar 1, ditunjukkan bahwa RA dapat mengakibatkan nyeri, kemerahan, bengkak dan panas di sekitar sendi. Berdasarkan studi, RA lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria dengan rasio kejadian 3 : 1.

Umumnya penyakit ini menyerang pada sendi-sendi bagian jari, pergelangan tangan, bahu, lutut, dan kaki. Pada penderita stadium lanjut akan membuat si penderita tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari dan kualitas hidupnya menurun. Gejala yang lain yaitu berupa demam, nafsu makan menurun, berat badan menurun, lemah dan kurang darah. Namun kadang kala si penderita tidak merasakan gejalanya. Diperkirakan kasus Rheumatoid Arthritis diderita pada usia di atas 18 tahun dan berkisar 0,1% sampai dengan 0,3% dari jumlah penduduk Indonesia.

Pengertian

Artritis Reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit yang tersebar luas serta melibatkan semua kelompok ras dan etnik di dunia. Penyakit ini merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan persendian, seringkali juga melibatkan organ tubuh lainnya
Sebagian besar penderita menunjukkan gejala penyakit kronik yang hilang timbul, yang jika tidak diobati akan menyebabkan terjadinya kerusakan persendian dan deformitas sendi yang progresif yang menyebabkan disabilitas bahkan kematian dini. Walaupun faktor genetik, hormon sex, infeksi dan umur telah diketahui berpengaruh kuat dalam menentukan pola morbiditas penyakit ini.hingga etiologi AR yang sebenarnya tetap belum dapat diketahui dengan pasti. 

 

Gejala

Penderita RA selalu menunjukkan simtoma ritme sirkadia dari sistem kekebalan neuroindokrin.[1]

Pada tahap yang lebih lanjut, RA dapat dikarakterisasi juga dengan adanya nodul-nodul rheumatoid, konsentrasi rheumatoid factor (RF) yang abnormal dan perubahan radiografi yang meliputi erosi tulang.

Gejala Klinis
 
Gejala klinis utama AR adalah poliartritis yang mengakibatkan terjadinya kerusakan pada rawan sendi dan tulang disekitarnya. Kerusakan ini terutama mengenai sendi perifer pada tangan dan kaki yang umum nya bersifat simetris. Pada kasus AR yang jelas diag-nosis tidak begitu sulit untuk ditegakkan. Akan tetapi pada masa permulaan penyakit, seringkali gejala AR tidak bermanifestasi dengan jelas, sehingga kadang kadang timbul kesulitan dalam menegakkan diagnosis. Walaupun demikian dalam menghadapi AR yang pada umumnya berlangsung kronis ini, seorang dokter tidak perlu terlalu cepat untuk menegakkan diagnosis yang pasti. Adalah lebih baik untuk menunda diagnosis AR selama beberapa bulan dari pada gagal mendiagnosis terdapatnya jenis artritis lain yang seringkali memberi-kan gejala yang serupa5. Pada penderita harus diberi tahukan bahwa semakin lama diagnosis AR tidak dapat ditegakkan dengan pasti oleh seorang dokter yang berpengalaman, umumnya akan semakin baik pula prognosis AR yang dideritanya.


Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnostik AR disusun untuk pertama kalinya oleh suatu komite khusus dari American Rheumatism Association (ARA) pada tahun 1956. Karena kriteria tersebut dianggap tidak spesifik dan terlalu rumit untuk digunakan dalam klinik, komite tersebut melakukan peninjauan kembali terhadap kriteria klasifikasi AR tersebut pada tahun 1958.
Dengan kriteria tahun 1958 ini ini seseorang dikatakan menderita AR klasik jika memenuhi 7 dari 11 kriteria yang ditetapkan, definit jika memenuhi 5 kriteria, probable jika memenuhi 3 kriteria dan possible jika hanya memenuhi 2 kriteria saja. Walaupun kriteria tahun 1958 ini telah digunakan selama hampir 30 tahun, akan tetapi dengan terjadinya perkembangan pengetahuan yang pesat mengenai AR, ternyata diketahui bahwa dengan menggunakan kriteria tersebut banyak dijumpai kesalahan diagnosis atau dapat me-masukkan jenis artritis lain seperti spondyloarthro-pathy seronegatif, penyakit pseudorheumatoid akibat deposit calcium pyrophosphate dihydrate, lupus erite-matosus sistemik, polymyalgia rheumatica, penyakit Lyme dan berbagai jenis artritis lainnya sebagai AR.
Pembagian AR sebagai classic, definite, probable dan possible, secara klinis juga dianggap tidak relevan lagi. Hal ini disebabkan karena dalam praktek sehari hari, tidak perlu dibedakan penata-laksanaan AR yang classic dari AR definite. Selain itu seringkali penderita yang terdiagnosis sebagai menderita AR probable ternyata menderita jenis artritis yang lain.
Walaupun peranan faktor reumatoid dalam pato-genesis AR belum dapat diketahui dengan jelas, da-hulu dianggap penting untuk memisahkan kelompok penderita seropositif dari seronegatif. Akan tetapi pada faktanya, faktor reumatoid seringkali tidak dapat dijumpai pada stadium dini penyakit atau pembentukan nya dapat ditekan oleh disease modifying anti-rheumatic drugs (DMARD). Selain itu spesifisitas faktor reumatoid ternyata tidak dapat diandalkan karena dapat pula dijumpai pada beberapa penyakit lain. Dua kriteria tahun 1958 yang lain seperti analisis bekuan musin dan biopsi membran sinovial memerlukan prosedur invasif sehingga tidak praktis untuk digunakan dalam diagnosis rutin.
Dengan menggabungkan variabel yang paling sensitif dan spesifik pada 262 penderita AR dan 262 penderita kontrol, pada 1987 ARA berhasil dilakukan revisi susunan kriteria klasifikasi reumatoid artritis dalam format tradisional yang baru. Susunan kriteria tersebut adalah sebagai berikut: 
 
1987 Revised A.R.A. Criteria for Rheumatoid Arthritis / Gejala klinis R.A :
 
  1. Kaku pagi hari
  2. Artritis pada 3 daerah persendian atau lebih
  3. Artritis pada persendian tangan
  4. Artritis simetris
  5. Nodul reumatoid
  6. Faktor reumatoid serum positif
  7. Perubahan gambaran radiologis
Penderita dikatakan menderita AR jika memenuhi sekurang kurangnya kriteria 1 sampai 4 yang diderita sekurang kurangnya 6 minggu.

Penanda RA yang terdahulu

Rheumatoid Factor (RF) merupakan antibodi yang sering digunakan dalam diagnosis RA dan sekitar 75% individu yang mengalami RA juga memiliki nilai RF yang positif. Kelemahan RF antara lain karena nilai RF positif juga terdapat pada kondisi penyakit autoimun lainnya, infeksi kronik, dan bahkan terdapat pada 3-5% populasi sehat (terutama individu usia lanjut).
Oleh karena itu, adanya penanda spesifik dan sensitif yang timbul pada awal penyakit sangat dibutuhkan. Anti-cyclic citrullinated antibody (anti-CCP antibodi) merupakan penanda baru yang berguna dalam diagnosis RA. Walaupun memiliki keterbatasan, RF tetap banyak digunakan sebagai penanda RA dan penggunaan RF bersama-sama anti-CCP antibodi sangat berguna dalam diagnosis RA.

ANTI-CCP IgG

Anti-CCP IgG merupakan penanda RA yang baru dan banyak digunakan dalam diagnosis kondisi RA. Beberapa kelebihan Anti-CCP IgG dalam kondisi RA antara lain :
  1. Anti-CCP IgG dapat timbul jauh sebelum gejala klinik RA muncul. Dengan adanya pengertian bahwa pengobatan sedini mungkin sangat penting untuk mencegah kerusakan sendi, maka penggunaan Anti-CCP IgG untuk diagnosis RA sedini mungkin sangat bermanfaat untuk pengobatan sedini mungkin.
  2. Anti-CCP IgG sangat spesifik untuk kondisi RA. Antibodi ini terdeteksi pada 80% individu RA dan memiliki spesifisitas 98%. Antibodi ini juga bersifat spesifik karena dapat membedakan kondisi RA dari penyakit artritis lainnya.
  3. Anti-CCP IgG dapat menggambarkan risiko kerusakan sendi lebih lanjut. Individu dengan nilai anti-CCP IgG positif umumnya diperkirakan akan mengalami kerusakan radiologis yang lebih buruk bila dibandingkan individu tanpa anti-CCP IgG

Reumatoid Artritis, Gout, dan Osteroartritis, Apa Bedanya?

Untuk membedakan reumatoid artritis (RA), gout dan osteoartritis (OA) kita perlu memulai dengan penyebab masing-masing. Reumatoid artritis (RA) adalah penyakit di mana sistem kekebalan tubuh secara keliru menyerang jaringan yang sehat, menyebabkan peradangan yang merusak sendi. Gout disebabkan kelebihan asam urat di dalam tubuh (hiperurikemia) yang berlangsung bertahun-tahun sehingga terjadi penumpukan asam urat yang mengkristal di sendi yang terkena. Sedangkan osteoartritis adalah kerusakan dan keausan tulang rawan yang berfungsi sebagai bantalan. Penyebab osteoartritis adalah proses penuaan, cedera, kelemahan tulang atau penggunaan sendi berulang/ terlalu berat. Ketiga penyakit itu sama-sama menimbulkan rasa sakit, kekakuan dan peradangan di persendian, tetapi polanya berbeda.
  • RA dapat memengaruhi setiap sendi di tubuh, tetapi sendi tulang kecil di tangan dan kaki yang paling terpengaruh. Di sisi lain, gout biasanya mempengaruhi sendi yang lebih besar di pergelangan kaki, tumit, lutut, pergelangan tangan, jari, siku dll. OA paling umum menyerang bantalan sendi berat seperti pinggul dan lutut.
  • RA biasanya menyebabkan nyeri atau kekakuan berkepanjangan (berlangsung lebih dari 30 menit) di pagi hari atau setelah istirahat panjang. Kekakuan akibat gout hadir hanya pada saat serangan terjadi, yang biasanya di malam hari setelah mengkonsumsi makanan tinggi purin atau obat perangsang air seni (diuretik). Pada OA, rasa sakit timbul setelah beraktivitas. Kekakuan di pagi hari hanya berlangsung singkat (kurang dari setengah jam), dan rasa sakit persendian dapat memburuk di sepanjang hari.
  • RA memengaruhi sendi yang sama di kedua sisi tubuh (simetris), meskipun pada awalnya mungkin hanya satu sisi. Sedangkan Gout dan OA dapat melibatkan hanya satu sendi tunggal.
  • RA tiga kali lebih umum pada perempuan dan seringkali dimulai antara usia 25 dan 55. Gout lebih umum pada laki-laki, terutama mereka yang berusia antara 40 dan 50. Wanita lebih jarang mengembangkan gout sebelum menopause. OA bisa menyerang laki-laki maupun perempuan, tapi insidennya lebih umum pada mereka yang kelebihan berat badan. Pada umumnya pengembangan OA dimulai pada usia yang lebih tua daripada RA dan gout.
  • RA mungkin hanya berlangsung untuk waktu yang singkat, atau gejala bisa datang dan pergi. Bentuk RA yang berat dapat berlangsung seumur hidup. Rasa sakit dan bengkak gout dapat hilang dengan pengobatan dan perubahan gaya hidup. Bila timbul kembali, gout biasanya menyerang sendi yang sama atau sendi yang sama di sisi lain tubuh. Kerusakan sendi OA bersifat permanen.
  • RA dapat memengaruhi bagian tubuh selain sendi, seperti mulut, mata, ginjal, jantung dan paru-paru sehingga menyebabkan kelelahan ekstrim, penurunan berat badan dan malaise (lesu). Gout dan OA hanya memengaruhi sendi.
Perbandingan di atas hanyalah untuk memberikan gambaran umum bagi Anda. Diagnosis akhir pada akhirnya perlu dibuat oleh dokter. Jika Anda mengalami salah satu gejala di atas, konsultasikanlah dengan dokter keluarga Anda.






Reumatoid artritis vs Asam Urat
Rheumatoid arthritis (RA) atau sering juga disebut artritis reumatoid (AR) merupakan salah satu jenis penyakit rematik yang merupakan penyakit autoimun. Jenis penyakit rematik bermacam-macam. Lebih kurang terdapat lebih dari 100 jenis penyakit rematik. Penyakit rematik memiliki gejala yang mirip satu dengan yang lain. Masyarakat umumnya menganggap semua penyakit rematik disebabkan oleh asam urat, padahal penyakit rematik karena asam urat (reumatoid gout) hanya terjadi sekitar 7% dari keseluruhan penyakit rematik. Penyakit reumatoid artritis merupakan salah satu penyakit rematik yang termasuk jarang dijumpai, namun bila tidak diobati, penyakit ini dapat mengakibatkan kecacatan sendi secara permanen.

Reumatoid Artritis si Penyakit Autoimun
Reumatoid artritis termasuk penyakit autoimun yang menyerang persendian tulang. Sendi yang terjangkit biasanya sendi kecil seperti tangan dan kaki secara simetris (kiri dan kanan) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan kemudian sendi mengalami kerusakan. Kerusakan sendi sudah mulai terjadi pada 6 bulan pertama terserang penyakit ini, dan  cacat bisa terjadi setelah 2-3 tahun bila penyakit tidak diobati.

Penyakit autoimun terjadi karena adanya gangguan pada fungsi normal dari sistem imun yang menyebabkan sistem imun menyerang jaringan tubuh sendiri atau dikarenakan adanya kegagalan antibodi dan sel T untuk mengenali sel tubuhnya sendiri sehingga merusak sel tubuh sendiri karena menganggap sel tubuh merupakan benda asing.


Reumatoid artritis menyerang lapisan dalam bungkus sendi (sinovium) yang mengakibatkan radang pada pembungkus sendi. Akibat sinovitis (radang pada sinovium) yang menahun, akan terjadi kerusakan pada tulang rawan sendi, tulang, tendon dan ligamen dalam sendi.

Peradangan sinovium menyebabkan keluarnya beberapa zat yang menggerogoti tulang rawan sel sehingga menimbulkan kerusakan tulang dan dapat berakibat menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Dalam seminar yang diadakan Wyeth Indonesia  20 Mei 2009 lalu juga mengungkap bahwa artritis reumatoid dapat menyerang semua usia, dari anak sampai usia lanjut dan perbandingan wanita : pria adalah 3 : 1.

Gejala Reumatoid Artritis:
Terjadi peradangan pada sendi, terasa hangat di bagian sendi, bengkak, kemerahan dan sangat sakit. Biasanya pada banyak sendi, simetris, sendi terasa kaku di pagi hari. Selain itu, gejala lainnya adalah demam, nafsu makan menurun, berat badan menurun, lemah, dan anemia.

Pengobatan Rheumatoid Artritis
Bertindak sebagai nara sumber, Prof. Dr. dr. Harry Issbagio, SpPD-KR, K Ger menyatakan bahwa  belum ada obat yang menyembuhkan reumatoid artritis, dalam artian bila obat sihentikan, maka penyakit tidak kambuh lagi. Pengobatan reumatoid artritis ditujukan untuk:

  1. Mengurangi nyeri
  2. Mengurangi inflamasi
  3. Menghentikan kerusakan sendi
  4. Mencegah cacat
  5. Memperbaiki fungsi sendi
  6. Memperbaiki kualitas hidup
  7. Mencegah kematian dini
Dahulu, pengobatan reumatoid artritis hanya untuk menghilangkan gejalanya saja, seperti mengurangi bengkak,nyeri (pengobatan simptomatik). Dengan pengobatan untuk mengurangi gejala saja, cacat tetap terjadi.
Sekarang, pengobatan reumatoid artritis dimaksudkan untuk menghentikan penyakit agar tidak berlanjut, mencegah hilangnya fungsi sendi, dan mencegah cacat, sehingga dapat mencegah kematian prematur.
Di masa depan, pengobatan diarahkan untuk mengurangi penyakit meskipun pengobatan dihentikan.
Pengobatan RA dibagi dua, yaitu terapi menggunakan obat, dan terapi non obat seperti fisioterapi, psikologik, dan pembedahan.
Pengobatan dengan menggunakan obat pengubah perjalanan penyakit (disease modifying anti rheumatic drug/DMARD) seperti metroteksat, sulfasalasin, kloroquin dapat digunakan. Namun kekurangan dari penggunaan obat tersebut adalah efek samping yang ditimbulkan cukup besar, prosedur penggunaan cukup rumit, efek lambat, dan angka kegagalan yang cukup besar.




Penggunaan agen biologi yang mekanisme kerjanya menginaktivasi sel T memiliki keuntungan bekerja lebih cepat, efek samping yang sedikit, dan angka keberhasilan yang cukup tinggi. Namun kekurangan penggunaan agen biologi dalam pengobatan RA adalah harganya yang cukup mahal bagi kebanyakan masyarakat. Yang perlu diingat adalah bahwa kunci keberhasilan pengobatan RA yaitu diagnosa dini dan pengobatan awal yang prograsif, yaitu sesegera mungkin menggunakan obat pengubah perjalanan penyakit (DMARD) bila diagnosa telah ditegakkan. reumatoid artritis belum dapat disembuhkan, namun dapat dikontrol sampai tercapainya tingkat remisi (sembuh sementara), di mana gejala penyakit terutama kerusakan sendi dapat dihentikan.

 

Konsep Pengobatan AR
Walaupun hingga kini belum berhasil didapatkan suatu cara pencegahan dan pengobatan AR yang sempurna, saat ini pengobatan pada penderita AR ditujukan untuk:
  1. Menghilangkan gejala inflamasi aktif baik lokal maupun sistemik
  2. Mencegah terjadinya destruksi jaringan
  3. Mencegah terjadinya deformitas dan memelihara fungsi persendian agar tetap dalam keadaan baik.
  4. Mengembalikan kelainan fungsi organ dan persen dian yang terlibat agar sedapat mungkin menjadi normal kembali.
Dalam pengobatan AR umumnya selalu dibutuh kan pendekatan multidisipliner. Suatu team yang idealnya terdiri dari dokter, perawat, ahli fisioterapi, ahli terapi okupasional, pekerja sosial, ahli farmasi, ahli gizi dan ahli psikologi, semuanya memiliki peranan masing masing dalam pengelolaan penderita AR baik dalam bidang edukasi maupun penatalaksanaan pengobatan penyakit ini. Pertemuan berkala yang teratur antara penderita dan keluarganya dengan team pengobatan ini umumnya akan memungkinkan penatalaksanaan penderita menjadi lebih baik dan juga akan meningkatkan kepatuhan penderita untuk berobat.
Setelah diagnosis AR dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang harus dilakukan adalah segera berusaha untuk membina hubungan yang baik antara penderita dan keluarganya dengan dokter atau team pengobatan yang merawatnya. Tanpa hubungan yang baik ini agaknya akan sukar untuk dapat memelihara ketaatan penderita untuk tetap berobat dalam suatu jangka waktu yang cukup lama.
Peranan Pendidikan dalam Pengobatan AR
Penerangan tentang kemungkinan faktor etiologi, patogenesis, riwayat alamiah penyakit dan penatalaksanaan AR kepada penderita merupakan hal yang amat penting untuk dilakukan. Dengan penerangan yang baik mengenai penyakitnya, penderita AR diharapkan dapat melakukan kontrol atas perubahan emosional, motivasi dan kognitif yang terganggu akibat penyakit ini.
Saat ini terdapat telah banyak publikasi tentang manfaat pendidikan dini pada penderita AR. Salah satu yang banyak dilaksanakan di Amerika Serikat dan Kanada adalah adalah The Arthritis Self Management Program, yang diperkenalkan oleh Lorig dkk. dari Stanford University. Peningkatan pengetahuan penderita tentang penyakitnya telah terbukti akan meningkatkan motivasinya untuk melakukan latihan yang dianjurkan, sehingga dapat mengurangi rasa nyeri yang dialaminya.
Trend Pengobatan AR Saat Ini
Berbeda dengan trend pada dekade yang lalu, saat ini banyak di antara para ahli penyakit reumatik yang telah meninggalkan cara pengobatan tradisional yang menggunakan 'piramida terapeutik. Beberapa ahli bahkan menganjurkan untuk menggunakan pendekatan step down bridge dengan menggunakan kombinasi beberapa jenis DMARD yang dimulai pada saat yang dini untuk kemudian dihentikan secara bertahap pada saat aktivitas AR telah dapat terkontrol.
Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa penatalaksanaan yang efektif hanya dapat dicapai bila pengobatan dapat diberikan pada masa dini penyakit.
Penggunaan OAINS dalam Pengobatan AR
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) umum nya diberikan pada penderita AR sejak masa dini penyakit yang dimaksudkan untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi sinovial yang bermakna. Selain dapat mengatasi inflamasi, OAINS juga memberikan efek analgesik yang sangat baik.
OAINS terutama bekerja dengan menghambat enzim siklooxygenase sehingga menekan sintesis prostaglandin. Masih belum jelas apakah hambatan enzim lipooxygenase juga berperanan dalam hal ini, akan tetapi jelas bahwa OAINS berkerja dengan cara:
o        Memungkinkan stabilisasi membran lisosomal
o        Menghambat pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi (histamin, serotonin, enzim lisosomal dan enzim lainnya).
o        Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan
o        Menghambat proliferasi seluler
o        Menetralisasi radikal oksigen
o        Menekan rasa nyeri
Selama ini telah terbukti bahwa OAINS dapat sangat berguna dalam pengobatan AR, walaupun OAINS bukanlah merupakan satu satunya obat yang dibutuhkan dalam pengobatan AR. Hal ini di sebabkan karena golongan OAINS tidak memiliki khasiat yang dapat melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat AR. Untuk mengatasi proses destruksi tersebut masih diperlukan obat obatan lain yang termasuk dalam golongan DMARD.
 
Efek Samping OAINS pada Pengobatan Penderita AR
Semua OAINS secara potensial umumnya ber-sifat toksik. Toksisitas OAINS yang umum dijumpai adalah efek sampingnya pada traktus gastrointestinalis terutama jika OAINS digunakan bersama obat obatan lain, alkohol, kebiasaan merokok atau dalam keadaan stress. Usia juga merupakan suatu faktor risiko untuk mendapatkan efek samping gastrointestinal akibat OAINS. Pada penderita yang sensitif dapat digunakan preparat OAINS yang berupa suppositoria, pro drugs, enteric coated, slow release atau non-acidic. Akhir akhir ini juga sedang dikembangkan OAINS yang bersifat selektif terhadap jalur COX-2 metabolisme asam arakidonat. OAINS yang selektif terhadap jalur COX-2 umumnya kurang berpengaruh buruk pada mukosa lambung dibandingkan dengan preparat OAINS biasa.
Efek samping lain yang mungkin dijumpai pada pengobatan OAINS antara lain adalah reaksi hiper-sensitivitas, gangguan fungsi hati dan ginjal serta pe-nekanan sistem hematopoetik.
Selama duapuluh tahun terakhir ini, berbagai jenis OAINS baru dari berbagai golongan dan cara penggunaan telah dapat diperoleh di pasaran. 

Dalam memilih suatu OAINS untuk digunakan pada seorang penderita AR, seorang dokter umumnya harus mempertimbangkan beberapa hal seperti:
  1.   Khasiat anti inflamasi
  2.  Efek samping obat
  3.  Kenyamanan / kepatuhan penderita
  4.  Biaya.
Karena faktor seperti khasiat anti inflamasi, efek analgesik, beratnya efek samping atau biaya dari berbagai jenis OAINS saat ini umumnya masih tidak jauh berbeda, sejak beberapa tahun terakhir ini pilihan OAINS lebih banyak bergantung pada faktor kenyamanan dan kepatuhan penderita dalam menggunakan OAINS.
Penggunaan DMARD pada Penderita AR
Pada dasarnya saat ini terdapat terdapat dua cara pendekatan pemberian DMARD pada pengobatan penderita AR. Cara pertama adalah pemberian DMARD tunggal yang dimulai dari saat yang sangat dini. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa destruksi sendi pada AR terjadi pada masa dini penyakit. Brook and Corbett, pada penelitiannya menemukan bahwa 90% penderita AR telah menunjukkan gambaran erosi secara radiologis pada dua tahun pertama setelah menderita penyakit. Hasil pengobatan jangka panjang yang buruk pada sebagian besar penelitian sangat mungkin disebabkan karena pengobatan baru dimulai setelah masa kritis ini dilampaui.
Cara pendekatan lain adalah dengan menggunakan dua atau lebih DMARD secara simultan atau secara siklik seperti penggunaan obat obatan imunosupresif pada pengobatan penyakit keganasan. Kecenderungan untuk menggunakan kombinasi DMARD dalam pengobatan AR ini timbul sejak dekade yang silam karena banyak diantara para ahli reumatologi beranggapan bahwa terapi DMARD secara sekwensial, pada jangka panjang tidak berhasil mencegah terjadinya kerusakan sendi yang progresif.
Sebenarnya tidak terdapat suatu batasan yang tegas mengenai kapan kita harus mulai menggunakan DMARD. Hal ini disebabkan karena hingga kini belum terdapat suatu cara yang tepat untuk dapat mengukur beratnya sinovitis atau destruksi tulang rawan pada penderita AR. Dengan demikian, keputusan untuk menggunakan DMARD pada seorang penderita AR akan sepenuhnya bergantung pada pertimbangan dokter yang mengobatinya. 

Umumnya pada penderita yang diagnosisnya telah dapat ditegakkan dengan pasti, OAINS harus diberikan dengan segera. Pada penderita yang tersangka menderita AR yang tidak menunjukkan respons terhadap OAINS yang cukup baik dalam beberapa minggu, DMARD dapat dimulai diberikan untuk dapat mengontrol progresivitas penyakitnya.
Beberapa jenis DMARD yang lazim digunakan untuk pengobatan AR adalah:
Klorokuin
Klorokuin merupakan DMARD yang paling banyak digunakan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena klorokuin sangat mudah didapat dengan biaya yang amat terjangkau sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah Indonesia dalam hal eradikasi penyakit malaria.
Sebagai DMARD, klorokuin memiliki beberapa keterbatasan. Banyak diantara para ahli yang ber-pendapat bahwa khasiat dan efektivitas klorokuin agaknya lebih rendah dibandingkan dengan DMARD lainnya, walaupun toksisitasnya juga lebih rendah dibandingkan dari DMARD lainnya. 

Dari pengalaman penggunaan klorokuin di Indonesia diketahui bahwa sebagian penderita akan menghentikan penggunaan klorokuin pada suatu saat karena merasa bahwa obat ini kurang bermanfaat bagi penyakitnya.
Toksisitas klorokuin sebenarnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Klorokuin dapat digunakan dengan aman jika dilakukan pemantauan yang baik selama penggunaannya dalam jangka waktu yang panjang. Efek samping pada mata, sebenarnya hanya terjadi pada sebagian kecil penderita saja. Mackenzie and Scherbel, pada penelitiannya telah dapat menunjukkan bahwa toksisitas klorokuin pada retina hanya bergantung pada dosis harian saja dan bukan dosis kumulatifnya. Dosis antimalaria yang dianjurkan untuk pengobatan AR adalah klorokuin fosfat 250 mg/hari atau hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Pada dosis ini jarang sekali terjadi komplikasi penurunan ketajaman penglihatan. Efek samping lain yang mungkin dijumpai pada penggunaan antimalaria adalah dermatitis makulopapular, nausea, diare dan anemia hemolitik. Walaupun sangat jarang dapat pula terjadi diskrasia darah atau neuromiopati pada beberapa penderita.
Sulfazalazine
Sulfasalazine (SASP,salicyl-azo-sulfapyridine) diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh Nana Svartz di Swedia pada sekitar tahun 1930. Pada mulanya obat ini digunakan untuk mengobati artritis inflamatif yang diduga disebabkan karena infeksi, akan tetapi setelah digunakan beberapa waktu, perhatian terhadap obat ini menurun akibat dipublikasikannya laporan Sinclair dan Duthie mengenai pengaruh yang kurang baik pada penggunaan obat ini di Inggris. Obat ini kemudian kembali menjadi populer setelah di publikasikannya laporan McConkey, Bird dan kawan kawan yang meneliti kembali khasiat SASP pada penderita AR dengan metodologi penelitian yang lebih baik.
Untuk pengobatan AR sulfasalazine dalam bentuk enteric coated tablet digunakan mulai dari dosis 1 x 500 mg / hari, untuk kemudian ditingkatkan 500 mg setiap minggu sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi tercapai dengan dosis 2 g / hari, dosis diturunkan kembali sehingga mencapai 1 g /hari untuk digunakan dalam jangka panjang sampai remisi sempurna terjadi. Jika sulfasalazine tidak menunjukkan khasiat yang di kehendaki dalam 3 bulan, obat ini dapat dihentikan dan digantikan dengan DMARD lain atau tetap digunakan dalam bentuk kombinasi dengan DMARD lainnya.
Kurang lebih 20% penderita AR menghentikan pengobatan SASP karena mengalami nausea, mun-tah atau dispepsia. Gangguan susunan syaraf pusat seperti pusing atau iritabilitas dapat pula dijumpai. Neutropenia, agranulositosis dan pansitopenia yang reversibel telah pernah dilaporkan terjadi pada penderita yang mendapatkan SASP. Ruam kulit terjadi kurang lebih pada 1% sampai 5% dari penderita yang menggunakan SASP. Penurunan jumlah sel spermatozoa yang reversibel juga pernah dilaporkan walaupun belum pernah dilaporkan adanya pening-katan abnormalitas foetus.
D-penicillamine
D-penicillamine (DP) mulai meluas penggunaannya sejak tahun tujuhpuluhan. Walaupun demikian, karena obat ini bekerja sangat lambat, saat ini DP kurang disukai lagi untuk digunakan dalam pengobatan AR. Umumnya diperlukan waktu pengobatan kurang lebih satu tahun untuk dapat mencapai keadaan remisi yang adekwat, dan rentang waktu ini dianggap terlalu lama bagi sebagian besar penderita AR
Dalam pengobatan AR, DP (Cuprimin 250 mg atau Trolovol 300 mg) digunakan dalam dosis 1 x 250 sampai 300 mg/hari kemudian dosis ditingkatkan setiap dua sampai 4 minggu sebesar 250 sampai 300 mg/hari untuk mencapai dosis total 4 x 250 sampai 300 mg/hari.
Efek samping DP antara lain adalah ruam kulit urtikarial atau morbilformis akibat reaksi alergi, stomatitis dan pemfigus. DP juga dapat menyebabkan trombositopenia, lekopenia dan agranulositosis. Pada ginjal DP dapat menyebabkan timbulnya proteinuria ringan yang reversible sampai pada suatu sindroma nefrotik. Efek samping lain yang juga dapat timbul adalah lupus like syndrome, polimiositis, neuritis, miastenia gravis, gangguan mengecap, nausea, muntah, kolestasis intrahepatik dan alopesia.
Garam emas
Auro Sodium Thiomalate (AST) intramuskular telah dianggap sebagai suatu gold standard bagi DMARD sejak 20 tahun terakhir ini. Khasiat obat ini tidak diragukan lagi, walaupun penggunaan obat ini seringkali menyertakan efek samping dari yang ringan sampai yang cukup berat.
AST (Tauredon ampul 10, 20 dan 50 mg) diberikan secara intramuskular yang dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, disusul dengan dosis percobaan kedua sebesar 20 mg setelah 1 minggu kemudian. Setelah 1 minggu, dosis penuh diberikan sebesar 50 mg / minggu selama 20 minggu. Jika respons penderita belum memuaskan setelah 20 minggu, pengobatan dapat dilanjutkan dengan pemberian dosis tambahan sebesar 50 mg setiap 2 minggu sampai 3 bulan. Kalau masih diperlukan AST kemudian dapat diberikan dalam dosis sebesar 50 mg setiap 3 minggu sampai keadaan remisi yang memuaskan dapat tercapai.
Efek samping AST antara lain adalah pruritus, stomatitis, proteinuria, trombositopenia dan aplasia sumsum tulang. Efek samping AST agaknya terjadi lebih sering pada pengemban HLA- DR3A. Jika timbul efek samping yang ringan, dosis AST dapat dikurangi atau dihentikan untuk sementara. Jika gejala efek samping tersebut menghilang, AST kemudian dapat diberikan lagi dalam dosis yang lebih rendah.
Ridaura (auranofin tablet 3 mg) adalah preparat garam emas oral telah dikenal sejak awal dekade yang lalu dan dianggap sebagai DMARD yang berlainan sifatnya dari AST. Walaupun obat ini terbukti berkhasiat dalam pengobatan AR, lebih mudah digunakan serta tidak memerlukan pemantauan yang ketat seperti AST, banyak para ahli yang berpendapat bahwa khasiat auranofin tidaklah lebih baik dibandingkan dengan AST.
Auranofin sangat berguna bagi penderita AR yang menunjukkan efek samping terhadap AST. Auranofin diberikan dalam dosis 2 x 3 mg sehari. Efek samping proteinuria dan trombositopenia lebih jarang dijumpai dibandingkan dari penggunaan AST. Pada awal penggunaan auranofin, banyak penderita yang mengalami diare, yang dapat diatasi dengan menurun- kan dosis pemeliharaan yang digunakan.
Methotrexate
Methotrexate (MTX) adalah suatu sitostatika golongan antagonis asam folat yang banyak digunakan sejak 15 tahun yang lalu. Obat ini sangat mudah digunakan dan rentang waktu yang dibutuhkan untuk dapat mulai bekerja relatif lebih pendek (3 - 4 bulan) jika dibandingkan dengan DMARD yang lain. Dalam pengobatan penyakit keganasan, MTX bekerja dengan menghambat sintesis thymidine sehingga menyebab-kan hambatan pada sintesis DNA dan proliferasi selular. Apakah mekanisme ini juga bekerja dalam penggunaannya sebagai DMARD belum diketahui dengan pasti.
Pemberian MTX umumnya dimulai dalam dosis 7.5 mg (5 mg untuk orang tua) setiap minggu. Walaupun dosis efektif MTX sangat bervariasi, sebagian besar penderita sudah akan merasakan manfaatnya dalam 2 sampai 4 bulan setelah pengobatan. Jika tidak terjadi kemajuan dalam 3 sampai 4 bulan maka dosis MTX harus segera ditingkatkan.
Efek samping MTX dalam dosis rendah seperti yang digunakan dalam pengobatan AR umumnya jarang dijumpai akan tetapi juga dapat timbul berupa kerentanan terhadap infeksi, nausea, vomitus, diare, stomatitis, intoleransi gastrointestinal, gangguan fungsi hati, alopesia, aspermia atau leukopenia. Efek samping ini biasanya dapat diatasi dengan mengurangi dosis atau menghentikan pemberian MTX. Kelainan hati dapat dicegah dengan tidak menggunakan MTX pada penderita AR yang obese, diabetik, peminum alkohol atau penderita yang sebelumnya telah memiliki kelainan hati.
Pada penderita AR yang menunjukkan respons yang baik terhadap MTX, pemberian asam folinat (Leucovorin) dapat mengurangi beratnya efek samping yang terjadi. Leucovorin diberikan dalam dosis 6 sampai 15 mg/m2 luas permukaan badan setiap 6 jam selama 72 jam jika terdapat efek samping MTX yang dapat membahayakan penderita.
Walaupun penggunaan MTX memberikan harapan yang baik dalam pengobatan AR, akan tetapi seperti halnya penggunaan sitostatika lain, MTX sebaiknya hanya diberikan kepada penderita AR yang progresif dan gagal di kontrol dengan DMARD standard lainnya.
Cyclosporin - A
Cyclosporin - A (CS-A), adalah suatu undeca-peptida siklik yang di isolasi dari jamur Tolypocladium inflatum Gams pada tahun 1972. Dalam dosis rendah, CS-A telah terbukti khasiatnya sebagai DMARD dalam mengobati penderita AR. Pengobatan dengan CS-A terbukti dapat menghambat progresivitas erosi dan kerusakan sendi. Kendala utama penggunaan obat ini adalah sifat nefrotoksik yang sangat bergantung pada dosis yang digunakan. Gangguan fungsi ginjal ini dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar kreatinin serum atau hipertensi. Efek samping lain CS-A adalah gangguan fungsi hati, hipertrofi gingiva, hipertrikosis, rasa terbakar pada ekstremitas dan perasaan lelah.
Dosis awal CS-A yang lazim digunakan untuk pengobatan AR adalah 2,5 mg/KgBB/hari yang diberikan terbagi dalam 2 dosis setiap 12 jam. Dosis dapat ditingkatkan sebesar 25% dosis awal setelah 6 minggu hingga mencapai 4 mg/KgBB/hari sehingga sehingga tercapai kadar CS-A serum sebesar 74 - 150 ng/ml atau jika kadar kreatinin serum meningkat mencapai lebih dari 50% nilai basal. Dosis peme-liharaan rata rata berkisar antara 4 mg/KgBB/hari. Dalam dosis tersebut ternyata terjadi perbaikan yang bermakna dalam beberapa outcome yang diukur.
Bridging Therapy dalam Pengobatan AR
Bridging therapy adalah pemberian glukokortikoid dalam dosis rendah (setara dengan prednison 5 sampai 7,5 mg/hari) sebagai dosis tunggal pada pagi hari. Walaupun pemberian glukokortikoid dosis rendah tidak menimbulkan perubahan yang bermakna kadar dan irama kortisol plasma atau growth hormone, pemberian glukokortikoid dosis rendah ini akan sangat berguna untuk mengurangi keluhan penderita sebelum DMARD yang diberikan dapat bekerja.
Pengobatan AR Eksperimental
Selain dari cara pengobatan di atas, terdapat pula beberapa cara lain yang dapat dipakai untuk mengobati penderita AR, akan tetapi karena belum dilakukan uji klinik mengenai khasiat dan efektivitas dari modalitas tersebut, cara pengobatan tersebut masih bersifat eksperimental dan belum digunakan secara luas dalam pengobatan AR. Pengobatan eksperimental AR ini antara lain meliputi penggunaan plasmaferesis, thalidomide, J-interferon, inhibitor IL-1 dan antibodi monoclonal.
Peranan Dietetik dalam Pengobatan AR
AR adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dan bukan suatu penyakit metabolik. Walaupun beberapa jenis modifikasi dietetik, antara lain yang terakhir berupa suplementasi asam lemak omega 3 seperti asam eikosapentanoat pernah dicoba dalam beberapa penelitian, ternyata hasilnya tidak begitu meyakinkan. Dengan demikian hingga saat ini sebagian besar para ahli berpendapat bahwa selain untuk mencapai berat badan ideal, agaknya modifikasi dietetik saat ini belum jelas kegunaannya dalam merubah riwayat alamiah penyakit ini


 

Rujukan

  1. (Inggris)"Mathematical modeling of the circadian rhythm of key neuroendocrine-immune system players in rheumatoid arthritis: a systems biology approach". Systems Immunology, Frankfurt Institute for Advanced Studies; Meyer-Hermann M, Figge MT, Straub RH.. Diakses pada 27 Juni 2010. 
  2. Kenali Reumatoid Artritis: Si Sistem Imun yang tak lagi Menjalankan Fungsinya
    25-05-2009 | Enny Sophia-medicastore.com
     
  3. Dr Valentin Low (S'PORE), Facelift Lipo Kurus Kulit Laser Orchard Rd Paragon tel:+65-67203323
    www.iplskinclub.com. 
    4.

     










Diposting oleh STIKES FITHRAH ALDAR LUBUKLINGGAU NGEBLOG di 21.36 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda
Langganan: Komentar (Atom)

Info

Rumah Dijual di Tangerang

Mengenai Saya

Foto saya
STIKES FITHRAH ALDAR LUBUKLINGGAU NGEBLOG
YAYASAN FITHRAH ALDAR SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN FITHRAH ALDAR LUBUKLINGGAU PROGRAM DIPLOMA III KEPERAWATAN IZIN MENDIKNAS NO : 172/D/0/2005 REKOMENDASI BADAN PPSDM DEPKES RI NO : HK.0.3.241.01312 Surat Ka. Dirjen Dikti Depdiknas 1364/D/T/2007 tanggal 7 Juni 2007 tentang perpanjangan izin Stikes FA Lubuklinggau, Surat Koordinator Kopertis Wilayah II No. 4163/D/T/K-II/2010 tanggal 29 Oktober 2010 tentang Perpanjang Izin Program Studi Diploma III Keperawatan Stikes FA Lubuklinggau, SK Kopertis Wilayah II Nomor : 12169/D/T/K-II/2012 tanggal 5 Juni 2012 tentang perpanjangan izin Program Studi Kesehatan Masyarakat Jenjang Strata I di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Fithrah Aldar Lubuklinggau Alamat : Jl. Kesehatan No. 37 (Belakang RSUD)  (0733) 324722 – 321844 Fax. (0733) 326136 Lubuklinggau 31611
Lihat profil lengkapku

STIKES FITHRAH ALDAR LLG ASYIK......TEMPAT MENUNTUT ILMUNYO...WONG LINGGAU GALO

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN FITHRAH ALDAR LUBUKLINGGAU IS THE BEST IN LUBUKLINGGAU
WOOW STIKES FA...ITU MEMANG SEKOLAH OKE....ALUMNI UDACH BUANYAK DAN UDACH BANYAK PULA YANG TELAH BEKERJA DI BERBAGAI INSTANSI NEGERI DAN SWASTA

Translate

Arsip Blog-Artikel Stikes Fithrah Aldar Lubuklinggau

  • ▼  2012 (14)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ▼  April (8)
      • ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN HIPERTENSI d...
      • ASUHAN KEPERAWATAN RHEUMATOID ARTRITIS di Stikes F...
      • Artritis reumatoid DI Stikes FA Lubuklinggau ngeblog
      • Asuhan Keperawatan pada Klien Hipoglikemia di dose...
      • Askep pada Klien Fraktur dosen ngeblog lubuklinggau
      • KEGIATAN MAGANG MAHASISWA PSKM (PROGRAM STUDI ST...
      • KEGIATAN MAHASISWA PKL (PRAKTIK KERJA LAPANGAN)
      • KEGIATAN SOSIAL DAN PENGABDIAN MASYARAKAT
    • ►  Maret (4)
Tema Sederhana. Gambar tema oleh luoman. Diberdayakan oleh Blogger.